AKSI PERINGATAN DARURAT: JOKOWI BIKIN NEGARA SEKARAT

Pada hari Kamis, 22 Agustus 2024 aliansi “Gerakan Rakyat Jawa Tengah Menggugat” melakukan Aksi dengan tajuk “Peringatan Darurat, Jokowi Bikin Negara Sekarat” yang diikuti oleh elemen masyarakat sipil dan mahasiswa dari berbagai kampus, aksi masa diperkirakan hingga 1000 orang. Aksi diselenggarakan di depan DPRD Jawa Tengah yang dimulai longmarch secara bersama-sama dari Pleburan.

Aksi ini pada dasarnya merupakan akumulasi kemarahan warga sipil terhadap tindak tanduk Jokowi yang mencederai marwah demokrasi di Indonesia. Namun kebebasan mengemukakan pendapat lagi-lagi direnggut oleh negara, aparat telah melakukan tindakan berlebihan dengan melakukan tindakan pengejaran, pemukulan, penggunaan water canon dan penembakan gas air mata yanh diarahkan langsung kepada masa aksi yang berupaya untuk masuk ke gedung DPRD, akibatnya sebanyak 18 mahasiswa dilarikan ke rumah sakit dan puluhan lainnya mengalami sesak napas.

Praktik culas Presiden Jokowi sudah jauh-jauh hari telah membajak Demokrasi dengan menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, kemarahan rakyat memuncak pada tanggal 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang dinilai publik sebagai ‘suara tuhan’ demi menjaga berdemokrasi di Indonesia.

Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 memberikan mengubah paradigma ambang batas konvensional yang mengandalkan penghitungan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau penghitungan suara sah sebagai satu-satunya parameter validitas pencalonan kepala dan wakil kepala Daerah.

Melalui Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, telah menunjukkan komitmennya untuk menjaga integritas demokrasi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Akan tetapi, ancaman datang dari wacana rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada) melalui Badan Legislasi (Baleg) yang berusaha mengaborsi putusan MK.

Proses aborsi ini terbukti dari draft Pasal 40 Ayat 1 dan 2 RUU Pilkada yang beredar. Dalam draft tersebut, penurunan ambang batas pencalonan hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi DPRD. Di lain sisi, untuk partai yang memiliki kursi DPRD masih menganut model sebelum Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yakni berdasarkan perhitungan kursi dan suara sah masing-masing 25% dan 20%. Ini jelas merupakan pengingkaran terhadap putusan MK yang seharusnya diberlakukan terhadap semua partai baik yang memiliki kursi DPRD ataupun tidak. Kelaliman ini juga menimbulkan prasangka buruk bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) punya niat buruk dibalik hal ini.

Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU MK, disebutkan bahwasanya putusan MK memiliki sifat final and binding. Artinya, putusan MK memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan sah semenjak telah ditetapkan, serta tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Dalam hal ini, artinya tiap-tiap lembaga negara harus patuh terhadap amar putusan MK, tidak terkecuali dengan DPR. Sejatinya, usaha Baleg DPR untuk mengubah beberapa ketentuan dalam UU Pilkada merupakan sebuah pelangkahan terhadap wewenang MK.

Selain itu, secara terang-terangan DPR juga telah melakukan pembangkangan terhadap putusan MK. Beriringan dengan persoalan threshold, permasalahan revisi UU Pilkada semakin mencuat akibat adanya persoalan syarat batas usia calon kepala daerah. Mengacu pada Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang dikeluarkan pada tanggal 29 Mei 2024, syarat batas usia calon kepala daerah diubah menjadi paling rendah berusia 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota yang dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Akan tetapi, MK dengan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan pada tanggal 20 Agustus 2024 telah menganulir Putusan MA dengan menetapkan bahwa syarat batas usia calon kepala daerah tetap mengacu pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yaitu syarat batas usia dihitung sejak KPU menetapkan sebagai calon kepala daerah. Kisruh revisi UU Pilkada digaungkan sebagai pembangkangan konstitusi karena DPR dalam hal ini justru menolak adanya Putusan MK yang pada dasarnya bersifat erga omnes dan justru mengacu pada Putusan MA.

Langkah ketidakpatuhan DPR akan Putusan MK telah menandai adanya pengabaian terhadap konstitusi. Pembangkangan yang dilakukan Baleg DPR RI pada Revisi UU pilkada terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 sangat memperlihatkan betapa bobroknya pemerintahan kita.

Penolakan putusan 70 ini terlihat syarat akan kepentingan elit dalam hal ini adalah putra bungsu Presiden Jokowi. Apabila kita tilik kembali penolakan putusan MK dapat menjadi karpet merah untuk Kaesang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang sekarang terbukti resmi diusung oleh Partai NasDem di Pilgub Jateng 2024 bersama Komjen Ahmad Luthfi. Pun juga rapat Baleg DPR RI terkesan dilakukan secara kilat dan hanya mementingkan kepentingan KIM Plus.

Hal ini terlihat dari pelaku utama dalam pengesahan keputusan Baleg DPR RI yaitu pimpinan Rapat Baleg DPR RI Achmad Baidowi, berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan bagian dari KIM Plus. Pengesahan Revisi UU Pilkada ini akan dilakukan oleh DPR pada Rapat Paripurna Tahap 2 besok hari. Sekali lagi apa yang dilakukan oleh DPR terlihat terlalu tergesa-gesa dalam pengesahan Revisi UU Pilkada ini dan sangat terlihat dikendarai oleh kepentingan politik KIM Plus.

Tindakan dari DPR yang berani merobek-robek putusan MK dan bergerak sendiri untuk membahas Revisi UU Pilkada ini sudah sepatutnya memunculkan refleksi bagi bangsa Indonesia. Fakta bahwa DPR RI bisa dengan mudah tidak melaksanakan putusan MK sudah seharusnya menjadi catatan besar terhadap bobroknya hukum di Indonesia. MK sendiri secara normatif memiliki asas yang disebut sebagai asas erga omnes yang seharusnya dipatuhi oleh seluruh subjek hukum yang ada di Indonesia. Ironis memang bahwa untuk kesekian kalinya pemerintah melalui DPR RI mengingkari hukum. Sudah sepatutnya rakyat bersatu mengawal upaya pembegalan terhadap putusan MK yang melecehkan kedaulatan rakyat. Hukum dibuat bertekuk lutut kepada penguasa yang culas dan tak tahu malu.

Kemudian, dalam kepemimpinan Jokowi sejatinya beragam produk hukum dihasilkan untuk memuluskan beragam kepentingan Oligarki serta justru berdampak buruk pada masyarakat kecil. Hal demikian diperjelas dengan hadirnya regulasi bobrok seperti Revisi UU TNI/Polri, UU Cilaka (Cipta Kerja), Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, UU Minerba, TAPERA, dan UU IKN. Akan tetapi, regulasi yang seharusnya didorong untuk segera disahkan demi hadirnya pengaturan yang holistik seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset, RUU PPRT, dan Peraturan pelaksana dari UU TPKS yang tak kunjung disahkan. Oleh karena itu, Gerakan Rakyat Jawa Tengah menyatakan sikap berikut :

  1. Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk tidak melakukan pengesahan Revisi UU Pilkada, jika Revisi UU Pilkada disahkan oleh DPR RI kami gaungkan Boikot Pilkada;
  2. Mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menindaklanjuti dan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024
  3. Menolak segala bentuk praktik Nepotisme dan politik dinasti dalam keberlangsungan demokrasi.
  4. Menuntut pejabat negara untuk tidak mencederai marwah Hukum dan melakukan pembangkangan terhadap konstitusi demi kepentingan golongan tertentu.

Narahubung:
Adam (082112663088)
Aoraqi (081937721234)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *