Duka mendalam untuk seluruh warga Kabupaten Pati yang tertimpa bencana banjir, khususnya yang terjadi di kecamatan Sukolilo, Kayen, dan Tambakromo. Banjir selama 3 bulan lamanya, terhitung sejak November 2022 hingga awal Januari 2023 ini bukan hanya berdampak terhadap terputusnya akses warga namun juga berdampak terhadap harta, benda, bahkan pada kehilangan jiwa sanak saudara. Dampak banjir terhadap jiwa terjadi pada 1 Desember 2022 di Tambakromo Pati yang merenggut dua lansia.[1] Dampak lain berdasarka data hingga awal Desember 2022 setidaknya ada 212 rumah terdampak hanya di wilayah Tambakromo, belum termasuk Kayen dan Sukolilo Pati.
Banjir yang terjadi sejak Juli 2022 dan berlanjut di awal November 2022 menjadi bencana yang tak berkesudahan. Warga yang notabene sebagai petani bahkan harus merelakan binatang ternaknya hilang terseret hingga mati terendam banjir. Berdasarkan data dari respon cepat BPBD Jawa Tengah, banjir yang terjadi di awal Desember 2022 berdampak terhadap 15 ekor hewan ternak yang hanyut dan 6 ekor mati di kandang akibat terendam banjir.[2]
Penderitaan petani di Pati tidak hanya berhenti sampai disitu, kali ini warga juga terancam gagal panen/puso karena hampir semua lahannya terendam banjir. Sampai dengan 5 Januari 2023, berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Pati, total ada sebanyak 7072 hekate areal persawahan yang terdampak banjir. Luasan ini tersebar di 10 kecamatan terutama yang berada disepanjang aliran sungai Juwana.[3]

Gambar. Olahan data dari jurnalindo.com
Data diatas secara jelas menggambarkan sebaran dampak banjir terhadap persawahan di Pati. Setidaknya luasan paling besar berada di kawasan Pegunungan Kendeng yakni Kayen dan terbesar di Sukolilo.
Petani yang terhimpit kondisi iklim dimana ketika musim kemarau sulit mendapatkan pasokan air dan mulai terdampak debu akibat aktivitas pertambangan, sedang ketika musim hujan terancam banjir. Disisi lain mereka juga masih harus berjuang mendapatkan pupuk dengan harga murah dan terjangkau termasuk beradu dengan rantai tengkulak yang semakin membuat petani itu menderita karena harga jual hasil panen yang sangat tidak manusiawi.

Banjir bukan tiba-tiba
Jika melihat lebih jauh, bencana banjir yang terjadi di beberapa daerah Pati bukan lah pertama kali dan datang dengan begitu saja. Sebelumnya pada bulan Juli banjir juga berdampak terhadap masyarakat disekitar Pegunungan Kendeng bahkan di tahun 2021 juga mengalami intensitas banjir yang tidak jauh berbeda.[4]
Banjir yang berulang kali datang kepada petani pati bukan lah tanpa sebab. Jika menelisik lebih jauh kejadian bencana ini bukan lah takdir dari Tuhan begitu saja. Pertama, bahwa sejak tahun 2010an terjadi banyak pertambangan di Kawasan Pegunungan Kendeng baik yang dilakukan oleh koporasi besar maupun lingkup yang lebih kecil. Baik pertambangan yang berizin maupun bukan. Jumlahnya dari tahun ke tahun tidak menunjukkan penurunan intensitas. Dan kedua kawasan Pegunungan Kendeng yang gundul akibat alih fungsi lahan yang masif.
Berdasarkan data LBH Semarang, setidaknya sampai September 2020 di wilayah Pegunungan Kendeng Pati dan Rembang terdapat hampir 70 Izin Usaha Pertambangan aktif. Hal ini belum termasuk dengan pertambangan ilegal di dua wilayah tersebut. Bayangannya pertambangan dan alih fungsi lahan ini akan semakin masif dengan ditetapkannya Rembang sebagai kawasan industri prioritas oleh Provinsi Jateng dan ditetapkannya Pati untuk kawasan pertambangan di seluruh kecamatan berdasarkan pasal yang terdapat dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 yang disahkan pada April 2021 lalu.
Pertambangan ini selain berkontribusi terhadap banjir jika musim hujan seperti saat ini, juga berkontribusi terhadap permasalahan lain. Di musim kemarau misalkan, kerusakan alam di Kendeng juga berkontribusi terhadap ancaman kekeringan panjang yang juga akan berdampak terhadap pertanian dan kehidupan petani. Termasuk debu yang semakin masif membawa dampak terhadap kesehatan dan tanaman hingga bayangan gagal panen. Selain itu, kerusakan akses jalan akibat transportasi truk pengangkut hasil tambang hingga saat ini juga membawa kesengsaraan bagi masyarakat terdampak.
Kondisi ini semakin tidak menemukan jalan keluar karena justru pemerintah semakin membuka lebar kesempatan investasi di sektor pertambangan. Tanpa berusaha mencari solusi atas bencana yang terjadi selama ini. Sudah berulang kali masyarakat mencoba mengingatkan akan pentingnya menjaga kelestarian Pegunugan Kendeng melalui aksi, kajian ilmiah, audiensi, hingga upaya hukum. Namun semua itu tidak membuat pemerintah merubah cara pikirnya. Kegiatan-kegiatan yang masif dilakukan masyarakat tidak lah berhenti dari tahun ke tahun. Mulai dari aksi langsung ke titik tambang, aksi ke pemangku kebijakan, kajian ilmiah, advokasi regulasi, pelaporan ke instansi terkait hingga upaya hukum. Namun kembali sampai dengan hari ini tidak ada kejelasan dari pemerintah untuk fokus menangani kerusakan tersebut.
Kebijakan Tak Responsif Bencana
Tahun 2018, Provinsi Jawa Tengah melakukan revisi peraturan daerah tentang tata ruang. Pembahasannya sangat panjang dan sulit dimana salah satu pembahasannya adalah kawasan karst di Pegunungan Kendeng yang menurut pemerintah melihat potensi karst di Kendeng membuat banyak investor mengincarnya untuk ditambang. Dalam revisi tersebut KBAK Sukolilo memang ditetapkan sebagai kawasan lindung namun dalam klausul pasal selanjutnya, Kabupaten Pati tetap saja disebut sebagai kawasan pertambangan.
Kemudian hasil di provinsi diturunkan menjadi tata ruang di kabupaten/kota yang pada tahun 2020, Kabupaten Pati juga melakukan revisi. JM-PPK merasa bahwa saat itu butuh ada peran serta masyarakat terdampak pertambangan untuk bisa didengar pendapatnya dalam penyusunan revisi ini, mengingat kondisi Pegunugan Kendeng yang sudah sangat krisis dan butuh perhatian secara kolektif.[5] Namun yang terjadi justru mereka dianulir, tak didengar sama sekali usulannya dan kemudian dengan serampangan Pemkab Pati menetapkan semua kecamatan di Kabupaten Pati menjadi kawasan tambang.
Penetapan semua kecamatan menjadi kawasan tambang menjadi hal yang berbahaya dan justru bertolak belakang dengan kajian-kajian yang ada. Hal ini tentu akan sangat berkontribusi kepada kerusakan dan bencana yang makin masif di Pati sendiri. Bayangan awalnya adalah bencana banjir yang terjadi saat ini.
Selain itu, penetapan daerah-daerah yang sudah jelas dalam kajian ilmiah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana namun oleh pemerintah justru dianggap dan ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri tentu menunjukkan pemerintah yang “anti sains” dan serampangan menetapkan kebijakan. Kawasan peruntukan industri tersebut terletak di kecamatan Tambakromo yang saat ini terendam banjir cukup parah. Lalu apakah pemerintah melihat bencana saat ini sebagai sebuah peluang bisnis??
Bayangnnya kasus-kasus serupa akan makin masif mengingat akhir tahun 2022 ini Pemprov Jawa Tengah sedang melakukan revisi perda Tata Ruang tersebut dan bayangannya semakin kacau. Dalam draft Konsultasi Publik kedua saja, Pemprov sudah bisa membayangkan ancaman krisis iklim dan krisis pangan dalam beberapa tahun kedepan, namun substansi revisi perda ini justru membicarakan perluasan kawasan pertambangan, kawasan industri, dan proyek infrastrukturnya yang justru akan semakin membuat kondisi lingkungan Jawa Tengah makin krisis.
Belum lagi kebijakan secara nasional pasca revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja disahkan, keberpihakan kepada petani dan masyarakat terdampak pembangunan makin jauh tak menjadi pertimbangan. Bayangannya jika petani protes adalah kriminalisasi. Kemudian akhir tahun ini juga diramaikan dengan revisi hukum Pidana (RKUHP) yang mana jika masyarakat protes terhadap suatu pembangunan dan mengkritisi kebijakan pemerintah maka ancaman pidananya makin nyata.
KBAK dan Kajian Ilmiah sebagai Solusi
Jika menelisik lebih jauh, Pegunungan Kendeng yang berada di Kabupaten Pati, Grobogan dan Blora berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 2641 K/40/MEM/2014 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Sukolilo yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan. Hanya saja aktor lain tetap berusaha untuk bisa melakukan penambangan diluaran KBAK tersebut. Mereka menganggap bahwa penambangan diluar KBAK tidak akan mengganggu ekosistem karst itu sendiri.
Padahal jika melihat dari kebijakan perlindungan kawasan karst sebenarnya sudah sangat jelas dimaksudkan dalam Undang-undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dimana karst adalah sebagai satuan eskositem. Ekosistem yang dimaksudkan dalam UU ini adalah sebagai suatu kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi. Artinya ketika satu titik kawasan karst terjadi kerusakan akibat pertambangan maka akan menggangu sistem karst disekitarnya. Hal lain yang juga perlu dilihat bagaimana komitmen daerah untuk menjaga kelestarian Karst di Pegunungan Kendeng tetap terjaga.
KLHS Pati sendiri dengan jelas menetapkan bahwa daerah Tambakromo sebagai kawasan rawan dengan bencana sehingga perlu dilakukan kajian yang serius jika akan diadakan pembangunan disana. Namun justru Pemkab Pati melihatnya dengan salah, Tambakromo justru ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri yang tentu akan sangat berdampak terhadap kawasan karst disana. Disisi lain, Tambakromo juga banyak sekali kawasan hutan yang seharusnya di jaga untuk kawasan resapan air. Dampaknya saat ini sudah terlihat jelas bagaimana banjir yang terjadi di Tambakromo membuat masyarakat sengsara.
KLHS Pegunungan Kendeng juga dengan jelas bagaimana menggambarkan kondisi krisis saat ini. KLHS yang berdasar amanat dari Presiden pada 2017 tersebut menggambarkan bahwa Pegunungan Kendeng sudah terlampaui daya dukung dan daya tampung lingkungannya sehingga sudah seharusnya dilakukan moratorium pertambangan disana. KLHS Kendeng juga dengan jelas menggambarkan kerugian secara ekonomi jika penambangan dan saat pabrik semen beroperasi.
KLHS Pegunungan Kendeng menggambarkan bagaimana potensi kerugian bagi masyarakat di kawasan Pegunungan Kendeng jika pertambangan dan pabrik semen beroperasi. Dalam kajiannya, KLHS menjelaskan bahwa seluruh kabupaten di Pati, Grobogan, Rembang, Blora hingga Jawa Timur di Bojonegoro, Tuban dan Lamongan memiliki risiko multi bencana (Banjir, bajir bandang, kebakaran hutan, longsor, dan gempa bumi) yang tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan dan pembangunan yang akan berlangsung khususnya di Pati akan membangkitkan risiko multi-bencana yang tergolong tinggi.
Kesimpulannya bahwa secara gasir besar Pati, Bojoegoro, dan Lamongan merupakan kabupaten dengan tingkat risiko bencana yang tinggi dibandingkan dengan empat kebupaten lainnya

*foto diambil dari KLHS Pegunungan Kendeng tahap II
KLHS Pegunungan Kendeng bahkan sudah menggambar kerugian secara ekonomi jika bencana banjir terjadi di Pati. Gambarannya seperti dalam gambar dibawah ini.

*Data diambil dari KLHS Pegunungan Kendeng Tahap II
Gambar diatas jelas menggambarkan jika bencana banjir terjadi di Pati maka kerugian secara ekonomi sudah dapat ditaksir hingga jutaan rupiah. Dan jika tidak ditangani secara serius oleh pemerintah tentang bagaimana langkah konkrit mencegah bencana ini terus terulang, maka masyarakat lah yang akan merasakan dampak seriusnya.
Kajian-kajian ini sudah jelas menggambarkan ancaman krisis iklim, dan potensi krisis pangan. Jika pemerintah justru semakin mengobral izin-izin pertambangannya, bukan tidak mungkin bencana banjir dan bencana lainnya akan makin masif terjadi di kawasan Pegunungan Kendeng.
[1] https://www.detik.com/jateng/berita/d-6436543/korban-meninggal-banjir-bandang-di-sinomwidodo-pati-bertambah-jadi-2-orang
[2] BPBD Jawa Tengah, SITUATION REPORT KEJADIAN BENCANA HIDROMETEOROLOGI DI WILAYAH JAWA TENGAH 30 November 2022 Dilaporkan kejadian Banjir, Angin Kencang dan Longsor di wilayah Provinsi Jawa Tengah pada 2 Desember 2022
[3] https://www.jurnalindo.com/jurnal-pantura/pr-7666443077/lahan-pertanian-dipastikan-gagal-panen-dispertan-pati-sebut-ada-7072-hektar-terendam-air
[4] https://regional.kompas.com/read/2022/07/15/235539178/banjir-bandang-pati-sejumlah-rumah-warga-hanyut-26-desa-terdampak?page=all
[5] https://mitrapost.com/2020/01/21/sambangi-dewan-jmppk-beri-masukan-soal-revisi-perda-rtrw/