Berupaya Kesampingkan Omnibus Law Cipta Kerja, Gugatan PHK Empat Buruh melawan PT Teguh Raksa Jaya Menang di PHI Semarang


Semarang, 19 September 2022 – Empat buruh yang merupakan pekerja di PT Teguh Reksa Jaya, Kota Tegal, memenangkan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI Semarang). Keempat buruh, dengan didampingi Net Attorney dan LBH Semarang mengajukan gugatan secara terpisah pada Februari 2022, dengan rincian: Gugatan No. 10/Pdt.Sus-PHI/2022/PN Smg a.n. Arif Iskandar; No. Gugatan 11/Pdt.Sus-PHI/2022/PN Smg a.n. Heru Rakhmanto; Gugatan No. 12/Pdt.Sus-PHI/2022/PN Smg a.n. Marningsih; dan Gugatan No. 13/Pdt.Sus-PHI/2022/PN Smg a.n. Handi Riswanto. Adapun alasan gugatan ini adalah karena keempat buruh dirumahkan dan tidak diupah selama lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut. Dengan demikian, secara hukum buruh berhak mengajukan gugatan PHK dengan tetap mendapat kompensasi PHK.

Dalam gugatan ini, para Penggugat tidak menggunakan Omnibus Law Cipta Kerja sebagai dasar hukum, melainkan Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini dikarenakan Omnibus Law Cipta Kerja akan mengurangi hinggan 75% dari jumlah uang pesangon yang menjadi hak buruh. Selain itu, pemutusan hubungan kerja yang dipermudah lewat Pasal 151 Omnibus Law Cipta Kerja yang menghapus ketentuan “segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja” sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, tidak digunakannya Omnibus Law Cipta Kerja dalam Gugatan ini juga merupakan bentuk perlawanan buruh terhadap Omnibus Law Cipta Kerja.

Dalam proses persidangan, PT Teguh Reksa Jaya menggunakan dalih bahwa perusahaan merumahkan buruh tanpa upah dengan alasan perusahaan merugi (force majure) karena kena dampak pandemi COVID-19. Namun, PT Teguh Reksa Jaya tidak pernah menghadirkan dokumen-dokumen yang membuktikan kerugian tersebut. Padahal, berdasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-XI/2011, efesiensi hanya bisa diberlakukan jika perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun atau keadaan memaksa. Keadaan memaksa tersebut harus dibuktikan dengan dengan laporan keuangan 2 tahun terakhir yang telah di audit oleh akuntan publik, atau perusahaan benar-benar tutup untuk sementara waktu atau secara permanen. Sementara, pada faktanya, PT Teguh Reksa Jaya masih beroperasi ketika keempat buruh diPHK dengan dalih “efisiensi” karena perusahaan merugi. Dengan alasan ini, perusahaan bermaksud untuk membayar ketentuan pesangon 0,5 kali ketentuan perhitungan pesangon dan dicicil sebanyak 25 kali.


Selain itu, terdapat kejanggalan dalam proses persidangan ini. Mediator Disnaker Kota Tegal, yang sudah pensiun pada saat persidangan, dihadrikan sebagai saksi oleh pihak perusahaan. Padahal, dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial telah jelas dinyatakan bahwa, “Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta”. Hal ini tentu menunjukkan ketidakprofesionalan serta adanya dugaan conflict of interest antara (mantan) mediator dengan pihak perusahaan. Dugaan ini menguat, karena dalam proses mediasi keempat buruh, semuanya tampak “dipaksa” untuk menyepakati pemutusan hubungaan kerja (PHK) menggunakan Omnibus Law Cipta Kerja dan PP 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Sementara, ada solusi lain yang menguntungkan buruh. Dalam putusan terhadap keempat gugatan yang diajukan, Majelis Hakim pada PHI Semarang memutus perkara ini dengan memberikan hak kepada buruh uang pesangon buruh sebanyak satu kali ketentuan dan uang penghargaan masa kerja sebanyak satu kali ketentuan. Putusan ini, meskipun meningkatkan nominal hak pesangon dari buruh, yang sebelumnya 0,5 kali ketentuan menjadi satu kali ketentuan, namun sangat disayangkan masih menggunakan Omnibus Law Cipta Kerja sebagai dasar hukum. Padahal jika menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan, keempat buruh seharusnya berhak atas uang pesangon sebesar dua kali lipat sebagaimana yang diputus oleh hakim.


Hal ini telah semakin membuktikan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja adalah produk hukum yang memiskinkan buruh. Perusahaan dapat dengan lebih leluasa melakukan PHK terhadap buruh karena hambatan secara hukum maupun nominal kompensasi PHK telah dikurangi secara drastis. Untuk itu, perjuangan untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja dengan ragam strategi harus tetap dilakukan.


Narahubung:
Marningsih (Perwakilan Buruh): 088985004952
Nasrul S. Dongoran (Managing Partner Net Attorney): 082277918500
M. Safali (Bidang Buruh dan Miskin Kota LBH Semarang): 081342137630

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *