Penulis : Wildatus Salmah, Staf Keuangan YLBHI-LBH Semarang
Nelayan atau miyang (sebutan di rumah ku), adalah salah satu pekerjaan yang dominan di tanah kelahiranku, Kecamatan Sarang, Kab Rembang. Desa ku berada di provinsi Jawa Tengah yang paling ujung Timur, perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagian besar masyarakatnya bergantung pada hasil laut untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Jika musim ikan sedang sepi seperti saat musim badai, maka beberapa orang akan beralih pada mata pencaharian lain, misalnya beralih menjadi petani tambak, petani padi, pertukangan, dan lain sebagainya. Daerahku cukup strategis mengingat berada pada jalan raya besar atau jalan pantura yang menjadi jalan utama kendaraan berlalu lalang antar provinsi.
Aku menjadi anak nelayan sejak 22 tahun yang lalu. Waktu yang sudah cukup lama dengan berbagai rasa yang menjadi pelengkap hidup. Menjadi anak nelayan bukan berarti tidak pernah mengalami hal yang kurang mengenakkan, apalagi aku adalah seorang perempuan. Perempuan seringkali menjadi sasaran utama dalam strata sosial masyarakat. Sebagian orang menganggap bahwa perempuan hanya memiliki kemampuan masak, macak, manak (memasak, berdandan, melahirkan). Padahal bukan hanya itu yang bisa perempuan lakukan dan boleh dapatkan, terkadang mimpi seorang perempuan hanya dianggap angin lalu, dan hal itu melekat pada pemikiran masyarakat desa ku sampai saat ini. Sangat umum bagi perempuan seperti ku, jika sudah tamat sekolah SMP dianjurkan untuk menikah. Masyarakat di desa ku sering berkata “ape opo kuliah sekolah duwur-duwur/kuliah ujung-ujunge neng pawon” yang artinya, “mau apa sekolah tinggi-tinggi/kuliah ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga pekerjaannya hanya di dapur”.
Alhamdulillah nya pemikiran orang tua ku berbeda dengan mayoritas masyarakat di desaku, yang kebanyakan kalau punya anak perempuan diminta segera menikah. Orang tua ku sebaliknya bahkan selalu mendukung setiap langkah ku, dan bahkan bapak ku pernah bilang ke aku “sekolaho saksenengem, ameh neng pondok opo kuliah sing penting tenanan, bapak kerjo golek duwek kanggo minterno anake nduk ben uripe ora mlarat koyok wong tuwo,“. Artinya “sekolahlah yang serius, mau di pondok pesantren atau sekolah umum yang penting serius, bapak bekerja mencari uang untuk memintarkan kamu agar hidupmu tidak sengsara sepertiku”.
Bapakku yang kebetulan hanya menjadi bawahan di awak kapal, istilah yang biasa dipake ABK, menjadi salah satu faktor orang-orang mencap bahwa aku tidak memiliki masa depan yang aku inginkan. Bahkan tidak akan melebihi. “Mimpi jangan terlalu tinggi nanti jatuh, sakit.” Begitulah orang-orang menyimpulkannya. Aku mulai menyadari jika prinsip bapakku dan aku sendiri tentu bertolak belakang dengan kebiasaan masayarakat pada umumnya di desa ku. Maka dari itu, aku mulai menata ulang strategi dalam mewujudkan mimpi dan tujuanku.
Bapakku seorang ABK dengan kapal tempat bekerjanya tidak besar -hanya memuat 20-25 orang-, dan rentan waktu melaut 21 -25 hari, dengan pendapatan yang pasang surut. Jika sedang musimnya atau waktu sepi hanya mendapatkan 200.000 – 500.000 rupiah dan saat ramai atau bahasa desa ku along bisa mendapatkan 1.500.000-3.000.000 per satu kali miyang. Namanya juga mencari ikan di laut atau “njaring” air yang berharap selalu ada ikannya. Dengan penghasilan sekecil itu sering kali sangat meresahkan bagi kehidupan semua ABK, karena tidak setiap melaut ramai ikan. Belum lagi seperti sekarang ini dimana kondisi laut juga tidak baik-baik saja, ditambah iklim yang tidak menentu dan tidak bisa ditebak. Jika cuaca sangat tidak mendukung atau ekstrim, gelombang ombak besar angin kencang datang, namun ketika para nelayan sudah terlanjur berangkat, maka mereka akan menepi ke Pulau-pulau sekitar seperti pulau Bawean. Di sana mereka berteduh. Dengan kondisi seperti ini, sering kali para nelayan pulang dengan tangan kosong/ tidak mendapatkan ikan, terutama di musim hujan angin.
Begitupun yang aku rasakan sebagai anak. Aku memiliki keresahan, kekhawatiran akan perekoniman keluarga dan keselamatan bapak ku, karena kelengkapan peralatan untuk melaut di desa ku yang aku rasa masih kurang, sehingga aku sangat khawatir jika bapakku berangkat melaut. Adapun trauma yang aku alami sampai saat ini adalah dua kali telapak kaki bapakku terkena jangkar kapal, yang pada akhirnya harus dilarikan ke Rumah Sakit untuk di operasi, hal tersebut yang membuat aku trauma jika ditinggal bapak bekerja. Bukan hal itu saja, banyak juga pelaut atau ABK lainnya yang terkadang hilang, tidak ketemu jasadnya karena terlempar dari kapal saat badai.
Bapak ku pernah berkata “Bapak kerjo miyang bantalan ombak, kemulan angin kuwe sekolah sing tenanan” artinya “bapak kerja melaut, ombak sebagai bantal dan angin yang menjadi selimut. Kamu sekolahlah yang serius”. Aku sering membayangkan begitu sangat sengsaranya para nelayan jika ada ombak besar, mereka tidak akan bisa tidur. Ketika cuaca panas, mereka akan kepanasan dan ketika dingin mereka kedinginan. Mereka tidur berdesak-desakan, tetapi semua itu tidak menjadikan para nelayan menyerah, mereka tetap bersemangat mencari nafkah untuk keluarganya.
Aku merasakan keluh kesah para nelayan, khususnya bapakku. Hal itu semua yang mendorongku untuk sekolah ataupun belajar dengan serius. Aku selalu berdo’a semoga aku diberikan keberuntungan yang besar, karena pada dasarnya “wong pinter kalah karo wong bejo” artinya, orang pintar akan kalah dengan orang yang beruntung. Harapan pribadi, aku sangat berharap para nelayan bisa dimuliakan dengan cara apapun oleh pemerintah, memberikan perlindungan, tapi aku rasa itu semua kurang. Bukan hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja yang perlu dan berhak mendapakan jaminan sosial/ekonomi atau pensiunan dll, masyarakat kecil seperti Buruh, ABK, tukang becak, tukang rosok dan masih banyak lainnya juga perlu dan berhak. Pemerintah harus memikirkan kesejahteraan mereka, meskipun mereka tidak punya pendidikan yang tinggi tapi mereka perlu kesejahteraan itu.