Semarang, 13 November 2024 – Dua kali forum debat Calon Gubernur Jawa Tengah 2024 kali ini, dua kandidat sama sekali tidak mengerti permasalahan yang ada di Jawa Tengah. LBH Semarang melihat solusi yang ditawarkan dari kedua paslon adalah semu dan tidak konkret untuk menjawab persoalan struktural yang dialami masyarakat Jawa Tengah. Debat kedua kali ini yang mengangkat tema “Membangun Infrastruktur dan Ketahanan Pangan Jawa Tengah dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat”, secara umum pertanyaan yang timbul sepanjang debat adalah soal kemiskinan, potensi ekonomi kreatif, kesenjangan digital, mitigasi bencana, dan produktivitas pertanian banyak ditemukan catatan penting agar publik tidak salah kaprah melihat kondisi krusial yang ada di Jawa Tengah.
Gagalnya Pengentasan Kesenjangan Ekonomi
Terkait masalah kesenjangan ekonomi, kedua paslon sama sekali tidak memiliki pandangan nyata untuk mengentaskan persoalan kesenjangan ekonomi di Jawa Tengah. Paslon nomor satu misalkan, mengutarakan perlunya mempermudah koneksi internet di wilayah-wilayah pedesaan agar masyarakat bisa menggunakan e-commerce melalui pelatihan serta mendorong perusahaan untuk bisa memanfaatkan outsourcing dari hasil pelatihan e-commerce. Namun, sebenarnya hal ini justru akan menambah kesenjangan antara masyarakat dengan perusahaan selaku pemilik modal tanpa ada hubungan kerja yang jelas. Ketentuan (outsourcing) yang mensyaratkan bekerja dengan kontrak jangka pendek sebagaimana dalam UU Cipta Kerja seringkali merugikan buruh utamanya di Jawa Tengah sebagai kawasan relokasi industri. Outsourcing yang problematik seringkali digunakan dalih oleh perusahaan untuk memutus hubungan kepada buruh termasuk dalih untuk menekan buruh agar tidak banyak bersuara terkait masalah hak-hak buruh di perusahaan.
Sementara itu, paslon nomor dua mengatakan bahwa untuk mengatasi kesenjangan ekonomi di Jawa Tengah perlu adanya pelatihan ekonomi kreatif bagi pemuda yang akan didukung melalui pengadaan Kartu Zilenial. Kartu Zilenial adalah kartu yang akan memberikan voucher internet dan ngopi gratis, sehingga anak muda diharapkan bisa belajar sambil santai. Selama ini kita sering disuguhkan dengan kebijakan kartu pelatihan semacam kartu pra-kerja dan lain sebagainya, namun seringkali kartu-kartu kebijakan yang dibuat itu justru-hanya menjadi program yang bukan hanya tak tepat guna, namun juga berpotensi sebagai sebuah pemborosan anggaran dan sebagai ajang melarisi usaha perorangan di internal pemerintahan. Termasuk voucher internet gratis namun tidak ada keterampilan, justru ketergantungan masyarakat terhadap hidup instan (hedon) akan makin meningkat dan pahitnya makin berkontribusi terhadap angka pengangguran.
Gagal Paham Mitigasi Krisis Iklim
Adapun terkait kerusakan lingkungan dan krisis iklim di Jawa Tengah, kedua paslon terlihat tak paham akar masalah dan belum memberikan solusi yang konkret untuk menjawab persoalan tersebut. Banyaknya bencana di Jawa Tengah hanya dikatakan sebagai sebaran angka semata tanpa tahu apa penyebab kenapa bencana ini makin banyak.
Banjir misalkan, sudah seperti bencana tahunan yang pasti melanda sejumlah daerah seperti Kabupaten Tegal, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Kudus, Kabupaten Demak, Kabupaten Pati, Hingga Kabupaten Grobogan. Akibatnya tidak main-main, pada tahun 2023 terdapat 2 orang korban tewas tenggelam di Kabupaten Kudus, 3 tewas akibat tersetrum kabel putus karena banjir di Kota Semarang, bahkan BNPB mengatakan sebanyak 3.576 jiwa mengungsi akibat banjir di Jawa Tengah. Di sekitar Kota Semarang misalnya eksploitasi air tanah untuk keperluan industri dan aktivitas ekonomi lainnya juga menyebabkan penurunan muka tanah semakin cepat. Selain itu, pembangunan yang lebih berfokus kepada daerah pesisir hampir di seluruh wilayah pantai utara juga ditambahkan perubahan iklim yang berkepanjangan berdampak terhadap masifnya bencana rob. Tahun sebelumnya, di Pati terdapat 7072 hektar areal persawahan terendam banjir selama 3 bulan lebih. Akibatnya puso dan ancaman krisis pangan makin nampak di wilayah-wilayah langganan banjir ini.
Contoh-contoh ini baru sedikit wilayah dan belum sepenuhnya mewakili keseluruhan 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Namun dengan adanya relokasi industri yang masif disertai dengan infrastruktur dan energi yang menyertainya maka mega proyek ini membutuhkan lahan yang luas dan bukan tidak mungkin menyasar ke lahan-lahan produktif di Jawa Tengah. Kerusakan lingkungan dan krisis iklim ini berkelindan dengan proses politis atas ketimpangan akses penguasaan sumber daya alam antara masyarakat dengan perusahaan atau bahkan dengan negara. Dan sekali lagi, analisa kedua paslon belum sejauh itu. Mereka tidak menjabarkan akar masalah bencana yang ada seperti perampasan lahan atas nama pembangunan, tambang yang meluas, penyedotan air tanah yang masif, pencemaran serta krisis iklim yang bertahun-tahun terjadi di Jawa Tengah. Dan selama tahun 2023 berdasarkan catatan LBH Semarang kurang lebih terdapat 60.000 orang yang telah terlanggar haknya di Jawa Tengah baik yang didampingi langsung maupun melalui tracking media.
Untuk merespon fenomena banjir rob yang menyebabkan minimnya ketersediaan air bersih, Luthfi-Taj Yasin-paslon nomor dua menyampaikan akan melakukan desalinasi yaitu merubah air asin menjadi air tawar untuk menjawab ketersediaan air bersih di pinggir pantura. Perlu diketahui bahwa masalah banjir rob yang timbul disepanjang pantura tidak akan menyusut hanya dengan desalinasi terlebih bukan hanya soal air saja. Ada ribuan nasib buruh berbagai sektor yang mengguantungkan hidup dari perusahaan yang kebanyakan berada di pesisir dan terdampak bencana ini. Akibatnya cost yang harus mereka keluarkan lebih baik untuk meninggikan rumah, biaya servis kendaraan, air bersih, dan usaha lainnya lainnya.
Gagal Paham Energi Terbarukan
Pada pembahasan mengenai energi, paslon nomor dua secara terang-terangan akan menekankan penggunaan energi geothermal. Hal ini sebetulnya juga sudah masuk dalam aturan tata ruang Jawa Tengah yang sudah merencanakan kurang lebih 8 pembangkit listrik panas bumi di hampir seluruh gunung di Jawa Tengah. namun kembali lagi solusi ini semu dan tak menyentuh bagaimana dinamika di masyarakat atas perampasan lahan atas nama energi terbarukan.
Jawa Tengah setidaknya sudah ada PLTPB yang beroperasi tepatnya di kawasan Dieng, Kabupaten Banjarnegara. Geothermal telah mengancam keselamatan, merampas lahan warga dan merusak lingkungan. Sepanjang tahun 2020-2024, ambisi membangun energi terbarukan melalui PLTPB juga telah menelan korban dari pihak pekerja. Tercatat pada 13 Maret 2022 terdapat 8 orang luka dan 1 orang tewas ketika kebocoran kegiatan PT Geodipa sebagai pengelola PLTPB Dieng sedang melakukan aktivitas pengeboran sumur produksi (wellpad) yang memunculkan zat kimia berupa Hidrogen Sulfida (H2S). Dampak lain yang juga dialami adalah perubahan kualitas sumber mata air sekitar yang biasa digunakan oleh warga untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak berhenti disitu, air yang timbul dari proyek itu juga merusak hasil pertanian bahkan petani seringkali terpaksa harus merasakan gagal panen. Proyek geothermal di Dieng ini menjadi potret rakusnya perampasan dan pencemaran Sumber Daya Alam. Dan kembali lagi, hal ini seharusnya bisa menjadi satu analisis serius yang dilakukan oleh kedua paslon dalam program yang akan dilaksanakan. Karena jika proyek energi geothermal ini diteruskan tentu di berbagai lokasi lain maka semakin menambah deretan masyarakat yang menjadi korban.
Gagal Paham Produktivitas Pertanian.
Pada pembahasan soal pertanian, kedua paslon sepakat salah satu permasalahan di Jawa Tengah saat ini adalah persoalan subsidi pupuk bagi petani. Akan tetapi kedua paslon tidak memberikan penjelasan konkrit terkait solusi untuk menjawab persoalan itu. Berdasarkan temuan LBH Semarang, beberapa organisasi tani lokal yang ada di Jawa Tengah terdapat beberapa permasalahan penyaluran subsidi pupuk ke petani. Tidak adanya pengawasan terhadap alur distribusi pupuk bersubsidi ini mengakibatkan subsidi pupuk yang diberikan ternyata belum mampu menjawab kebutuhan petani. Distribusi pupuk yang ada saat ini dilakukan berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang didasarkan pada pendataan kebutuhan petani oleh Penyuluh Pertanian (PPL) melalui kelompok tani. Namun, dari temuan petani di Kabupaten Pati dan Kendal belum pernah sekali pun mendapatkan pupuk subsidi dari pemerintah yang mencukupi angka kebutuhan dalam RDKK.
Tidak hanya pupuk subsidi, ketimpangan kepemilikan dan perampasan lahan di Jawa Tengah yang digadang sebagai salah satu lumbung pangan nasional di justru banyak sekali kasus-kasus pelanggaran HAM. Di Kabupaten Brebes misalnya, hampir 6.000 Hektar lahan pertanian akan beralih fungsi, baik untuk kawasan Industri dan peruntukan lainya.[1], lain dengan Kab.Batang di mana lahan pertanian produktif seluas 20 hektar dialih fungsikan untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sementara menurut Catatan Akhir Tahun YLBHI-LBH Semarang tahun 2020, terdapat sekitar 36 kasus dan 24-nya merupakan kasus perampasan lahan dengan dalih Proyek Strategis Nasional. Terbaru lahan sawah produktif seluas 200 Hektar akan hilang denagn adanya rencana Pembangunan Reviitalisasi Danau Rawa Pening di Kabupaten Semarang. Bahkan menurut Catatan Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, alih fungsi lahan terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir, luasan lahan yang dialihfungsikan diperkirakan 600-1.000 Hektar/tahun. Berdasarkan Catatan kasus agraria yang di Advokasi Oleh Organisasi Tani Jawa Tengah (ORTAJA), sebanyak 33 konflik agraria berada di sektor Perkebunan dan Kehutanan, dari 33 kasus tersebut sebanyak 21 kasus tanah perkebunan (61%) sedangkan 12 kasus tanah hutan (12%).
Berdasarkan analisa kebijakan, tercatat sekitar 37 Mega Proyek Strategis Nasional yang ada di Jawa Tengah dimana proyek-proyek tersebut tentu memerlukan alokasi ruang. Sehingga Pemerintah Daerah harus mengakomodir perubahan ruang melalui berbagai kebijakan-kebijakan daerah misalnya Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah baik Provinsi maupun Kabupaten, dan kebijakan-kebijakan pendukung lainnya.
Kemudian muncul pertanyaan tentang kurangnya keterlibatan generasi muda di bidang pertanian. Masalahnya adalah, kebijakan yang ada saat ini menyulitkan kaum muda untuk jadi petani, mulai dari kekurangan alat produksi, perampasan tanah, tata alur produksi dan konsumsi, harga jual rendah, serta perlindungan petani. Hal ini terjadi karena selama ini negara hanya melakukan pembangunan yang dibarengi dengan narasi pemiskinan terhadap petani karena hasil pertanian yang berkualitas. Hilangnya relasi antara petani dengan lahan juga telah membuat petani kehilangan identitas sekaligus pekerjaannya. Hal ini tidak hanya terjadi dengan merampas lahan petani secara langsung, namun juga dengan membuat petani tidak bisa bertani dengan semestinya. Pembahasan soal produktivitas petani muda ini juga tidak bisa dilepaskan dengan mandat reforma agraria, yang bukan hanya berorientasi pada bagi-bagi sertifikat namun juga mengembalikan pengelolaan sepenuhnya kepada para petani/pemilik lahan.
LBH Semarang Mengingatkan Bahwa Kegagalan Cara Pandang Masalah di Jawa Tengah dapat Menghadirkan Solusi Palsu, Partisipasi Semu dan Pemborosan Anggaran
LBH Semarang menilai pada debat kali ini dan juga debat sebelumnya, masing-masing paslon Gubernur tidak menganalisis lebih dalam permasalahan struktural di Jawa Tengah dan tidak ada ketegasan pernyataan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat, seperti hak atas standar kehidupan yang layak, hak atas pembangunan yang berkeadilan, hak atas tanah, serta hak atas lingkungan hidup yang baik.
Maka, dari sempitnya imajinasi paslon untuk menangani ketimpangan yang ada di sepanjang Pantura, LBH Semarang mengingatkan bahwa masifnya industri yang diselenggarakan tanpa kepatuhan terhadap prinsip-prinsip keadilan lingkungan dan tata kelola ruang adalah sumber utama masalah yang ada adalah solusi palsu menjawab krisis struktural di Jawa Tengah. Sehingga solusi yang ditawarkan seharusnya lebih kompleks lagi serta mengedepankan unsur pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
Sumber Kutipan; 2024. Nirmala, Ronna. Ancaman Terselubung Geothermal di Lahan Kentang Petani Dien. Project Multatuli. Diakses melalui https://projectmultatuli.org/ancaman-terselubung-geothermal-di-lahan-kentang-petani-dieng/