Jalur Ganda Eksploitasi: Kerusakan Ekologis dan Perampokan Hak Buruh di Pantura Semarang

Oleh: M. Safali – Kepala Bidang Buruh LBH Semarang

Dalam sepuluh tahun terakhir, Provinsi Jawa Tengah menjadi tujuan relokasi pabrik dari berbagai wilayah di Jawa Barat dan Banten. Secara umum Investasi yang masuk ke Jawa Tengah didominasi sektor industri padat karya, seperti barang dari kulit dan alas kaki, elektronik, alat kesehatan, dan industri tekstil. Bagi pengusaha, upah minimum di daerah sebelumnya “dianggap” terlalu tinggi, sehingga Jawa Tengah dengan upah yang sangat murah ini menjadi daya tarik.

Desain tata ruang yang akomodatif dengan kebutuhan industri juga berperan penting. Dalam konteks Jawa Tengah, pesisir utara menjadi lokasi yang sebelumnya cukup dikembangkan. Pembangunan infrastruktur untuk mendukung mobilitas manusia dan barang-pun dikembangkan. Pembangunan hunian para pekerja pabrik pun tak lagi terelakkan. Lahan-lahan pertanian dan wilayah tangkapan air-pun hilang seturut dengannya.

Tentu saja, masih banyak daftar lain tindakan pemerintah untuk menarik investasi, memanjakan para pemodal. Namun, tulisan ini akan difokuskan dalam melihat bagaimana kerusakan yang ditimbulkan oleh industrialisasi telah mengorbankan buruh, pekerja keras yang hasil kerjanya telah dirampok bahkan sebelum bencana datang.

Sebagai contoh, Kawasan Industri Bukit Semarang Baru (BSB) yang sebelumnya merupakan tanah berbukit yang masih rindang dengan hutan belantara serta daerah resapan air. Namun setelah Kawasan BSB berdiri daerah tersebut kerap mengalami banjir.[1] Selain dipengaruhi kawasan industri, proses perubahan tanah sawah yang disulap menjadi industri perumahaan akan berdampak pada beralihnya profesi petani menjadi buruh-buruh pabrik[2].

Sementara, bagi kawasan industri yang berlokasi di pesisir utara, penurunan muka tanah yang diakibatkan penyedotan air tanah secara besar-besaran telah mengakibatkan kawasan ini menjadi langganan banjir rob. Beberapa media melaporkan ketinggian banjir bisa mencapai satu hingga dua meter. Jika terjadi banjir aktivitas produksi lumpuh total dan buruh menjadi yang paling dikorbankan.

Kawasan Industri Wijayakusuma misalnya. Kawasan ini terletak di Kecamatan Mangkang, Semarang Barat. Jika banjir datang, perusahaan-perusahaan di kawasan tersebut merumahkan pekerjanya tanpa upah. Buruh-pun harus menanggung kerusakan sepeda motor akibat rob, dan tak jarang utang menjadi jalan keluarnya. Sialnya lagi, beberapa perusahaan juga menjadikan banjir sebagai alasan pemecatan massal, tanpa diiringi kewajiban membayar pesangon. Hanya uang tali asih yang besarannya tak seberapa.

Sementara, Kawasan Industri Lamicitra Semarang, yang terletak di kawasan pelabuhan Tanjung Mas, menjadi kawasan yang paling parah terdampak banjir. Rupa-rupa dampak pun muncul.

Misalnya, PT Grand Best Indonesia (PT GBI) yang terdampak banjir, hanya memberikan pembayaran upah penuh selama seminggu saat buruh harus diliburkan karena banjir. Pengurus Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) meminta agar PT GBI agar perusahaan memberikan jaminan dan memenuhi hak-hak buruh selama dirumahkan, namun keluhan tersebut diabaikan.

Selain itu, PT Lucky Textile melakukan PHK massal terhadap buruh pasca banjir pada akhir 2023. Perusahaan menawarkan skema relokasi ke buruh untuk bekerja Kab. Demak karena perusahaan ini telah mendirikan pabrik baru disana. Namun, perpindahan tersebut diiringi dengan penurunan upah karena upah minimum Kab Demak terpaut sekitar Rp. 500.000 dibanding Kota Semarang. Padahal, untuk bekerja di Demak, biaya transportasi buruh dan waktu yang dihabiskan di perjalanan meningkat.

Ada pula PT Fuji Metec yang telah menutup operasional pabrik pada 2023 karena banjir rob. 500 buruh yang bekerja di perusahaan ini memang telah mendapatkan kompensasi sesuai “kesepakatan” dengan pihak perusahaan. Namun, pasca PHK para buruh kesulitan mencari pekerjaan baru di perusahaan-perusahaan Semarang yang sangat rentan mengalami banjir rob.

Setelah banjir rob surut kondisi jalan masuk Kawasan Lamicitra sangat licin. Banyak buruh yang tergelincir. Meski sudah banyak yang mengeluhkan kondisi itu, namun pihak pengelola kawasan mengabaikannya.

Disamping itu, karena banjir rob telah begitu sering terjadi di kawasan ini, banyak perusahaan-perusahaan yang meninggalkan kawasan ini. Bagi perusahaan yang masih bertahan, sepertinya hanya menunggu waktu untuk hengkang. Terlebih, pabrik-pabrik yang ada di kawasan ini digunakan secara sewa oleh masing-masing perusahaan. Sehingga sangat mudah bagi perusahaan untuk pergi, kapanpun ada kesempatan.

Akumulatif, eksploitatif, dan ekspansif. Itulah kira-kira yang tergambar dari industrialisasi di Jawa Tengah. Keuntungan telah diakumulasi pada pemodal selama bertahun-bertahun dari hasil kerja keras para buruh. Lingkungan rusak karena ragam aktivitas akibat industrialisasi. “Keretakan metabolik”, sebagaimana dinyatakan John Bellamy Foster. Di tengah situasi tersebut, alih-alih para buruh mendapat perlindungan, para pengusaha malah berpetualang mencari lokasi baru untuk memindahkan praktik akumulatif dan eksploitatifnya.

Di tengah situasi yang demikian, pemerintah Jawa Tengah dengan cerdasnya memfasilitasi pengembangan kawasan-kawasan peruntukan industri baru. Ditambah dengan politik upah murah, seolah-olah Pemerintah hendak berkata, “ini lingkungan dan rakyat kami, wahai bendhoro kapitalis. Silakan dimanfaatkan sesukanya”.


[1] Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS di Semarang, Bosman Batubara, dkk., Hal 5

[2]https://jateng.idntimes.com/news/jateng/fariz-fardianto/1000-hektar-lahan-di-jateng-berubah-jadi-pabrik-perumahan-dan-proyek-gas-bumi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *