KBGO Masih ada, Kita Harus apa?

Penulis: Tuti Wijaya

Saat ini peradaban manusia sepertinya sudah pada tingkat yang sangat mutakhir. Begitu cepatnya perkembangan teknologi setidaknya merepresentasikan hal tersebut. Fenomena terbaru canggihnya teknologi bahkan hampir setiap hari kita dengar. Pembaruan satu fitur dalam aplikasi media sosial, kemunculan model Handphone dengan spesifikasi paling oke, hingga kemunculan gagasan metaverse misalnya. Semua orang berbondong-bondong merespon dan membicarakannya.

Semangat modernisasi menjadi salah satu hal yang mendorong masifnya penggunaan media sosial dan platform-platform digital.  Bahkan kehadirannya sudah tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri. Mulai dari anak-anak, orang dewasa bahkan orang tua. Naas nya, perkembangan ini tak selalu berdampak positif. Beragam kejahatan di dunia digital akhirnya tak bisa dihindarkan lagi.

Salah satu kejahatan yang saat ini marak terjadi di dunia teknologi adalah kekerasan berbasis gender (KBG). Kekerasan yang menyerang seksualitas dan gender ini semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam kesehariannya, kejahatan ini disebut dengan Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) atau dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menyebutnya dengan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).

Fenomena KBGO

Maraknya KBGO semakin mencuat ketika pandemi Covid-19 melanda. Dimana pembatasan terhadap manusia dan ruang-ruang pertemuan menyempit. Saat itu platform-platform digital dan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi dan teknologi nirkabel semakin merambah serta berlomba menemukan terobosan paling canggih. Tujuan sederhananya agar manusia tetap dapat berkomunikasi dan melakukan aktivitasnya meski dalam ruang lingkup yang terbatas. Misalnya, kemunculan aplikasi zoom meeting yang merupakan salah satu layanan konferensi video yang berbasiskan cloud computing.  Dimana aplikasi ini dapat dengan mudah digunakan hanya dengan menggunakan perangkat seluler, desktop hingga sistem lainnya. Hal ini disusul dengan kemudahan untuk mengakses internet dimanapun dan kapanpun berada. Contohnya, seseorang yang sedang diisolasi di Rumah Sakit karena paparan virus Covid-19 masih bisa berkomunikasi dengan keluarga yang berada di rumah hanya dengan video call atau memanfaatkan aplikasi zoom meeting. 

Tak mau kalah aplikasi Whatsapp milik perusahaan teknologi Meta pun terus berkembang. Jika, pada awalnya fitur video call hanya dilakukan dengan 2 orang kemudian berkembang menjadi 4 orang hingga akhirnya dapat melakukan panggilan group. Bahkan, aplikasi lain seperti instagram, facebook atau aplikasi terbaru yang dibeli oleh CEO perusahaan ini adalah Twitter yang hingga kini terus mengalami pembaharuan. Lalu apakah kemudahan-kemudahan seperti ini selalu berdampak positif? Tentu kita bisa menjawab tidak mungkin saja iya. 

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun  LBH Semarang tahun 2021 saat kasus Covid-19 sedang melonjak, terdapat 19 aduan kasus Kekerasan Seksual 10 diantaranya adalah KBGO. Kemudian LBH Semarang mencatat di Tahun 2022 KBGO pada umumnya kasus kekerasan berbasis gender mengalami peningkatan sejumlah 142% melonjak menjadi 46 kasus, akan tetapi terjadi penurunan kasus KBGO menjadi 9 kasus saja. Korban pun berasal dari berbagai kalangan dari mahasiswa hingga ibu rumah tangga. Berbagai macam bentuk platform juga digunakan untuk melakukan aksi kejahatan yang menggunakan media digital tersebut. Berdasarkan fenomena yang terjadi, muncul pertanyaan mengapa kasus kekerasan seksual hingga merambah dalam dunia teknologi, terus bertambah hingga menjadi fenomena global.

Beberapa alasan dapat menjawab pertanyaan tersebut yaitu pertama perkembangan teknologi yang tanpa batas. Kedua, mudahnya akses teknologi dimanapun dan kapan saja. Ketiga, rasa keingintahuan akan mencoba hal-hal baru dan yang terakhir adalah budaya arus modernisasi yang secara tidak langsung mempengaruhi seseorang untuk terus berkompetisi menjadi seseorang yang paling maju. Keempat hal tersebut secara tidak langsung membersamai melesatnya kasus KBGO saat ini. 

Noam Chomsky menyebutkan ada sebuah proses rekonstruksi yang membuat seseorang ketergantungan pada media digital, proses itu disebut rekonstruksi informasi. Sebuah proses yang pada akhirnya menciptakan realitas semu. Realitas yang tidak dapat dipisahkan dari kontaminasi politik dan tercipta karena kebohongan yang disebarkan secara masif dan berulang di media digital. Tindakan ini dapat menjadi kebenaran ilusif yang memanipulasi pikiran dan persepsi publik. Kebenaran ilusif yang dikondisikan oleh kelompok dominan melalui media, memberikan dorongan kepercayaan masyarakat terhadap realitas palsu dan mencoba mengaburkan realitas yang sebenarnya. Menurutnya, realitas semu tersebut dinamakan sebagai fenomena simulacra. Simulacra merupakan istilah yang dipopulerkan oleh sosiolog dan filsuf postmodern asal Prancis yaitu Jean Baudrillard untuk mendeskripsikan keadaan manipulatif yang tercipta melalui tanda dan citra.[1]

Agaknya, simulacra tersebut sejalan dengan kondisi yang saat ini sedang kita hadapi. Perkembangan teknologi yang berkembang pesat tanpa bisa dihentikan, semangat modernisasi dan fenomena simulacra semakin membentuk kita sebagai orang-orang candu yang bahkan sudah adiktif terhadap teknologi. 

Hal diatas dapat memperlihatkan bahwa realitas yang sebenarnya semu, ketergantungan teknologi, semangat modernisasi telah merubah pola pikir manusia. Bahwa akhirnya kita menganggap hal yang sebenarnya semu seolah nyata. Dimana anggapan itu berdampak pula dengan penyaluran hasrat sebagai kebutuhan biologis seseorang. Seperti akhirnya muncul video call saxual atau disingkat menjadi VCS. Perbuatan VCS ini merupakan bentuk pemanfaatan lain dari adanya video call. Dimana hanya dengan melihat partner komunikasi kita melakukan aktivitas seksual di dalam video, seseorang dapat menyalurkan hasrat seksualnya.

Semakin jauh ternyata aktivitas VCS tersebut disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Seperti di dalam kasus KBGO, pelaku memanipulasi dan mengiming-imingi sesuatu agar korban mau melakukan VCS. Akhirnya pelaku menggaet korban. Pelaku secara diam-diam merekam dan mengabadikan aktivitas VCS tersebut dan digunakan untuk mengancam korban. Biasanya pelaku akan memeras dan mengancam agar korban melakukan sesuatu atau berkirim sejumlah uang jika tidak dipenuhi maka pelaku akan menyebarkan video yang telah direkamnya tersebut. Bahkan, beberapa pelaku mengaku jika dengan hanya dengan menyebarkan video intim korban, dirinya merasa puas. 

Bagaimana Kasus KBGO terjadi?

Sejak awal tahun 2023 sebanyak 9 kasus KBGO masuk ke LBH Semarang. Kasus-kasus tersebut kebanyakan berbentuk penyebaran foto intim tanpa persetujuan atau istilah kerennya  Non consensual dissemination of intimate image (NCII). Pelaku akan memanfaatkan konten intime untuk mengancam dan mengintimidasi agar korban mau menuruti permintaannya.  Konten intime tersebut biasanya pelaku dapatkan dengan cara memanipulasi dan merayu bahkan mengiming-imingi sesuatu kepada calon korban. Lebih parah korban dengan sengaja mengambil gambar-gambar milik korban, mengeditnya menjadi sebuah konten yang bernuansa seksual lalu menyebarluaskan. Cara-cara pelaku mendapatkan konten intim korban sangat variatif. Misalnya, mengajak untuk berkirim foto atau video yang bernuansa seksual bahkan meminta calon korban untuk melakukan VCS. Bahkan pelaku melakukan peretasan data base korban melalui media sosial korban.

Salah satu contoh kasus yang pernah LBH Semarang tangani menimpa korban Laki-laki. Korban sebut saja Adit (bukan nama sebenarnya), merupakan seorang remaja yang memiliki aktivitas bermedia sosial cukup tinggi. Seperti kebiasaan remaja pada umumnya, Adit senang sekali bermedia sosial salah satunya Twitter. Selama menggandrungi Twitter Adit tertarik pada istilah yang ia temui dan memang viral di kalangan pengguna Twitter yaitu Open Booking Out (Open BO). Open BO adalah istilah yang sering digunakan untuk memesan jasa seseorang, misalnya jasa seorang perempuan untuk melakukan hang out bersama. Selain itu biasanya menyediakan beberapa jasa diantaranya pergi bersama, Video Call Sexual hingga berhubungan seksual dengan range harga tertentu.

Saat itu adit mencoba untuk melakukan open BO dengan salah satu akun di Twitter. Awalnya, Adit bertukaran nomor  Whatsapp dan memilih jasa VCS saja. Cara bekerja jasa yang Adit pesan, yaitu Adit akan melakukan masturbasi begitu pula dengan pelaku hingga Adit melakukan ejakulasi. Sebelum melakukan aktivitasnya Adit diminta untuk membayar sejumlah Rp.150.000,- sebagai uang muka. 

Pada saat VCS dimulai, Adit diminta oleh pelaku untuk membuka baju yang dikenakan. Namun pelaku tidak memperlihatkan apapun dan hanya terlihat layar hitam. Pelaku beralasan video terkendala karena jaringan internet yang tidak stabil dan beberapa kendala lainya. Kemudian, Adit diminta untuk kembali mentransfer sejumlah uang dengan alasan untuk membeli paket internet yang lebih lancar. 

Tanpa curiga Adit pun menuruti permintaan pelaku. Selang beberapa saat, video dimulai kembali. Pelaku hanya memperlihatkan wajah (seorang perempuan) dan menyuruh Adit untuk telanjang bulat. Akan tetapi, setelah Adit melakukan perintahkan pelaku tersebut mematikan video call yang sedang berlangsung. Adit berusaha untuk melakukan panggilan kembali akan tetapi nomor tersebut sudah tidak aktif.

Beberapa saat setelah kejadian tersebut, Adit dikirimi sebuah video yang berisi rekaman video call antara Adit dan pelaku dengan menggunakan nomor lain. Adit tersentak kaget, karena pelaku justru berkirim video disertai pesan, jika akan melaporkan Adit dengan tuduhan telah melakukan panggilan video call tidak senonoh kepada pelaku. Adit diancam akan dilaporkan ke kepolisian dan menyebarkan video tersebut kepada teman-teman Adit dan di media sosial apabila Adit tidak mengirimkan sejumlah uang kepada pelaku. 

Adit merasa sangat ketakutan akibat ancaman dan tindakan victim blaming yang dilakukan oleh pelaku. Adit juga khawatir jika ancaman penyebaran video tersebut benar-benar dilakukan oleh pelaku. Mengingat, Adit yang masih menempuh pendidikan dan akan malu jika ada orang-orang yang mengetahuinya.

Dalam kasus lain yang LBH Semarang temui, korban dihasut dengan berbagai cara untuk mengirimkan foto atau video intim. Sering terjadi pelaku mencoba untuk menguasai dan meretas semua akun media sosial calon korban yang nantinya mutual dari korban disimpan dan dipakai untuk mengancam korban. Bahkan, jika pelaku memang sudah terindikasi adalah orang terdekat biasanya pelaku akan menguntit atau mengambil data korban terlebih dahulu. Sebelum akhirnya digunakan untuk mengancam korban. Biasanya motif yang dilakukan pelaku adalah pemerasan. Dalam beberapa hal korban yang memiliki relasi khusus misalnya mantan pacar tindakan tersebut karena adanya rasa sakit hati atau kecemburuan dengan korban.

Peraturan Hukum terkait KBGO?

KBGO memang menyusahkan bagi setiap individu yang menjadi korban. Tidak hanya berdampak kepada Kesehatan mental, lingkungan sosial, juga menyasar kepada ekonomi. Biasanya korban akan merasa takut untuk berbagi dengan orang lain karena adanya rasa malu jika harus disebarkan. Kebanyakan kasus yang ditemui, minim sekali adanya informasi tentang identitas  pelaku, tempat tinggal pelaku bahkan seringnya mengenakan akun dan nomor palsu. Disisi lain pelaku akan melakukan teror dengan menggunakan banyak nomor telepon hingga menyerang akun pribadi korban secara terus menerus. Hal tersebut membuat pelaku sulit untuk diidentifikasi.

Sebenarnya Kasus KBGO sudah lama diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita. Didalam pasal 369 Ayat (1) KUHP menerangkan bahwa setiap orang yang mengancam untuk membuka rahasia seseorang dengan tujuan tertentu merupakan perbuatan melawan hukum dan diancam dengan pidana penjara. Bahkan berdasarkan Pasal 29 Jo. Pasal 45B UU No 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bagi setiap orang yang tanpa hak mengirimkan informasi elektronik berisi ancaman kekerasan akan dijerat hukum pidana pula.

Peraturan-peraturan tersebut juga dikuatkan dengan hukum positif terbaru berkaitan dengan KBGO yaitu  Pasal 4 ayat (1) huruf I UU No 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan merupakan perbuatan yang dilarang sebagaimana disebutkan disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, yang berbunyi:

Pasal 14 ayat (1) huruf b

“Setiap orang yang tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”

Berdasarkan dasar hukum diatas, salah satu Langkah yang diambil untuk penyelesaian kasus KBGO adalah dengan mengirimkan somasi kepada pelaku. Akan tetapi, akibat minimnya informasi somasi hanya dapat dilakukan kepada nomor atau akun yang melakukan peneroran. Meskipun kerap kali diindahkan oleh pelaku, namun cara ini cukup berhasil dalam kasus-kasus yang didampingi oleh LBH Semarang.

Selain berkirim Somasi langkah selanjutnya dapat melaporkan kasus kepada pihak yang berwajib. Dimana dalam hal ini memang kepolisian harus bekerja extra untuk menemukan pelaku. Bahkan dimungkinkan akan memerlukan waktu yang lama. Melihat kasus-kasus KBGO ini sulit terdeteksi, apabila ketika melihat pola kasus tersebut tidak dilakukan oleh satu orang saja alias bersindikat. Yang dapat dilakukan dengan sangat cepat. Butuh banyak dukungan dari berbagai pihak, seperti kecepatan kepolisian dalam mengungkap kasus berdasarkan informasi yang begitu minim.

Apa yang harus dilakukan?

Korban kasus KBGO biasanya mengalami ketakutan dan trauma bahkan stress berkepanjangan. KBGO membawa dampak yang serius terhadap korban yang mengalaminya. Sehingga, kasus ini memang harus dihentikan. Literasi dan keamanan digital dirasa sangat perlu ditingkatkan seiring perkembangan teknologi. Hal tersebut penting karena KBGO merupakan kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia misalnya melanggar hak privasi, hak kebebasan berekspresi, hak kesetaraan dan nondiskriminasi, ha katas Kesehatan dan hak lainnya.

Dirasa perlu  dilakukan berbagai pencegahan agar perkembangan teknologi ini tidak semakin menimbulkan korban misalnya:

1. Selalu menjaga privasi data digital dan keamanan perangkat yang digunakan.

Kejahatan dan kerentanan dalam penggunaan teknologi selalu mengintai kita. Kejahatan seperti peretasan, pencurian identitas atau data pribadi sering digunakan sebagai salah satu cara melancarkan kasus KBGO. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjaga privasi dan keamanan adalah dengan memasukkan akun pribadi dan akun public. Menjaga keamanan perangkat seperti menggunakan password yang kuat dan selalu menyalakan verifikasi login serta selalu memeriksa pengaturan privasi.

2. Jangan berbagi data dan informasi Pribadi secara berlebihan ke media sosial.

Pelaku yang biasanya melakukan manipulasi dan mengiming-imingi agar calon korban mau menuruti kemauannya. Membuat kita sering terlena oleh hal tersebut sehingga korban dengan mudahnya mengirimkan foto/video. Sehingga memeriksa, mencari tahu dan melakukan tracking terhadap orang yang hendak kita kirimkan konten menjadi sangat penting, untuk mencegah kita tidak terjerumus dalam rayuan pelaku.

3. Menghindari pembuatan konten intim yang memperlihatkan wajah dan identitas pribadi.

Setiap orang memang memiliki hak untuk berekspresi termasuk  membuat dan berbagi konten ke media sosial. Akan tetapi untuk mengurangi KBGO, kita dapat menghindari mengunggah atau berkirim foto/video intim ke media sosial. Dengan kita mencantumkan wajah dan identitas kita, akan lebih memudahkan pelaku dalam melakukan pelacakan dan pengancaman terhadap korban.

4. Bijaklah dalam mengelola informasi pribadi di media sosial

Media sosial adalah saran yang digunakan oleh orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan dalam ruang virtual. Adanya kejahatan KBGO yang kian hari kian marak akan terus menghantui kita jika kita tidak aware dan lebih bijak dalam menggunakan media sosial.

Fenomena KBGO harus ditindak secara serius dengan melibatkan berbagai pihak. Baik diri kita sendiri sebagai pengguna teknologi dan juga pemerintah yang seharusnya mampu membendung kekerasan-kekerasan berbasis siber atau gender online terjadi lebih marak lagi.

[1] https://lsfdiscourse.org/political-post-truth-antara-simulacra-dan-prahara-digital/ diakases pada 23 Juni 2023 pukul 18.26 WIB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *