Mempertegas Hubungan Kerja antara Pengemudi dan Aplikasi Ojek Online (Bagian 1)

Penulis: Rizky Putra Edry

Sekitar empat tahun yang lalu, rencana ekspansi Gojek ke Malaysia sempat ramai menjadi perbincangan. Salah satunya, karena potongan pernyataan bos Big Blue Taxi Malaysia, Shamsubahrin Ismail yang menolak kehadiran Gojek di Malaysia dengan argumen yang begitu ofensif. Sedikit dari potongan pernyataannya yang sempat viral di media sosial antara lain dengan mengatakan, “ini [Indonesia] negara miskin, kita negara kaya. Kalau Indonesia anak muda bagus, dia tak keluar, keluar negara untuk cari kerja. Gojek hanya untuk orang miskin seperti di Jakarta”.[1] Pernyataan tersebut sampai memantik pengemudi Gojek untuk melakukan demonstrasi di depan Kedubes Malaysia untuk menuntut permintaan maaf dari Ismail.

Kiranya, sangat sulit bagi siapapun yang menyimak wacana tersebut untuk menghilangkan kesan bahwa pernyataan itu disampaikan bukan karena ketakutan Ismail terhadap persaingan dengan Gojek. Namun demikian, jika menyimak video tersebut secara utuh sebagaimana diunggah pada kanal Youtube Big Blue Publishing House pada tanggal 21 Agustus 2019 yang berjudul “Shamsubahrin tak setuju Gojek dilulus di Malaysia”[2], sebagian argumen Ismail patut disetujui. Secara garis besar, argumennya yang dapat kita berikan persetujuan adalah bahwa anak muda harusnya mendapat pekerjaan yang tetap dan layak, sementara faktanya kalaupun anak muda yang kebetulan mendapat pekerjaan tetap, gaji yang diperoleh terlalu rendah.

Pernyataan tersebut, apapun motif penyampaiannya, tak lain merupakan fakta yang terjadi saat ini: fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Pekerjaan Tetap vis a vis Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja

Pekerjaan atau hubungan kerja tetap, yang saban hari kian langka, erat kaitannya dengan kejelasan hubungan kerja antara buruh dan majikan. Dalam skema ini, terdapat sederet kewajiban perusahaan terhadap buruh yang seharusnya dilindungi melalui hukum perburuhan. Namun, bagi pemodal, kejelasan hubungan kerja yang demikian akan mengurangi keuntungan yang dapat diakumulasi. Hal ini dikarenakan hubungan kerja permanen atau lebih rigid, akan menimbulkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan pengusaha, Beberapa diantaranya: upah yang layak bagi buruh; pesangon; jaminan sosial yang memadai; dan sebagainya.

Untuk mengatasi hal tersebut, gerak modal saat ini telah mendorong hubungan antara pemodal dengan buruh menjadi lebih fleksibel. Fleksibel dalam hal ini merupakan “lawan” dari kepastian kerja. Semakin fleksibel pasar kerja, maka kondisi kerja cenderung menjadi semakin tak layak dan berbahaya bagi kehidupan buruh.

Dalam pasar tenaga kerja yang fleksibel, kemudahan untuk merekrut dan memecat buruh menjadi ciri utamanya. Buruh tidak memiliki hubungan kerja yang jelas dengan perusahaan, dikontrak berkali-kali dalam waktu yang panjang, serta dapat diputus kontraknya sewaktu-waktu. Melalui sistem ini, pengusaha dapat menghindar dari sejumlah kewajibannya, dan yang pasti dapat menumpuk lebih banyak kekayaan. Peran pemerintah-pun sangat minimal dalam menyediakan mekanisme perlindungan hak-hak buruh. Sebuah kabar baik bagi himpunan pemodal.

Pada faktanya, model pasar kerja yang fleksibel inilah yang diterapkan oleh Gojek ataupun Grab (selanjutnya ditulis Aplikasi) melalui skema Kemitraan yang diterapkannya. Melalui skema ini, aplikasi hendak mengaburkan tindakan eksploitatif yang dilakukannya terhadap pengemudi.

Kemitraan atau Hubungan Kerja?

Skema Kemitraan yang diterapkan antara Aplikasi dengan pengemudi seringkali secara retoris dinyatakan oleh Aplikasi sebagai bentuk kesejajaran antara keduanya. Bagi Aplikasi, alasan klise berkaitan dengan fleksibelnya jam kerja pengemudi menjadi alasan pamungkas. Melalui jam kerja yang demikian, Aplikasi mengklaim telah membantu pengemudi dengan menyediakan kemudahan. Namun, jika dilihat secara hukum saja –yang kerap kali lebih memihak pengusaha- akan beda ceritanya.

Dasar hukum yang dapat dipakai untuk melegitimasi praktik Kemitraan adalah Pasal 1618-1652 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt). Deretan pasal ini berisi ketentuan mengenai persekutuan perdata yang dalam bahasa Belanda –negeri asal KUHPdt yang saat ini berlaku di Indonesia- disebut dengan istilah Maatschap. Sementara, dalam bahasa Inggris, konsep ini dikenal dengan istilah Partnership. Selain itu, terma Kemitraan juga dapat secara eksplisit kita temui dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU UMKM) –yang kemudian beberapa ketentuannya direvisi oleh Undang-Undang Cipta Kerja. Namun kedua aturan hukum ini memiliki substansi yang berbeda.

Persekutuan Perdata yang diatur dalam KUHPdt idealnya merupakan badan usaha yang dijalankan oleh pihak-pihak dalam keadaan yang relatif setara. Terdapat ruang dialog untuk merumuskan “aturan main” usaha yang akan dijalankan.

Sementara, dalam perjanjian Kemitraan antara Aplikasi dengan pengemudi sama sekali tidak ada ruang negosiasi. Semuanya ditentukan melalui klausula baku yang ditetapkan oleh Aplikasi yang notabene merupakan sebuah perusahaan. Artinya, sedari awal, pengemudi telah diposisikan subordinat dari Aplikasi.

Selanjutnya, dalam pelaksanaan usaha, pengemudi masih terikat dengan ketentuan-ketentuan dari Aplikasi yang sebenarnya lebih mirip Peraturan Perusahaan. Ruang negosiasi nyaris tertutup lagi, barangkali dalam sebuah pengecualian jika ada demonstrasi besar-besaran dari pengemudi. Sampai disini, coraknya semakin tampak sebagai hubungan buruh dan majikan dan sekali lagi: bukan mitra.

Beranjak dari ketentuan dalam KUHPdt, UU UMKM –sebagaimana telah diubah sebagian ketentuannya oleh Undang-Undang Cipta Kerja- juga mengatur mengenai Kemitraan. Dalam Pasal 1 angka 13 UU UMKM dinyatakan bahwa, “Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar”. Berdasarkan ketentuan ini, terdapat setidaknya tiga aspek untuk melihat legalitas Kemitraan antara Aplikasi dan pengemudi, yaitu: 1) aspek substansi perjanjian Kemitraan, 2) aspek kriteria para pihak dalam Kemitraan; dan 3) aspek pelaksanaan Kemitraan.

Pada aspek pembuatan perjanjian Kemitraan, berdasarkan definisi yang telah diberikan UU UMKM, idealnya perjanjian tersebut memenuhi prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Namun, selain dibuat tanpa proses dialog sebagai bukti bahwa para pihak berada dalam kedudukan yang setara, substansi perjanjian Kemitraan yang dibuat dengan format klausula baku terlihat begitu timpang.

Dalam perjanjian Kemitraan Gojek misalnya, terdapat beberapa bagian yang memberikan begitu banyak “beban” kepada pengemudi. Dari frasa yang digunakan saja, terlihat bahwa pengemudi adalah subordinat dari Aplikasi, yaitu, “Tanggung Jawab Anda Sebagai Mitra”, “Komitmen Anda sebagai Mitra”, dsb. Di sisi lain, dalam perjanjian ini begitu banyak frasa “Gojek/Kami tidak bertanggungjawab”. Dengan demikian, terlihat bahwa aspek substansi Perjanjian Kemitraan tidak terpenuhi.

Kemudian, terkait aspek kriteria pihak dalam Kemitraan, terlihat bahwa telah ditentukan pihak yang dapat bermitra adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Jika Aplikasi secara kasat mata dapat dikategorikan sebagai usaha besar, lalu dimana posisi pengemudi? Apakah dikategorikan sebagai usaha mikro, kecil, atau menengah?

Persyaratan untuk menjadi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, awalnya telah diatur dalam UU UMKM. Namun, setelah pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja, kriteria usaha mikro diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (PP 7/2021).

Merujuk pada ketentuan Pasal 35 PP tersebut, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ditentukan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan. Namun, pembagian ini tidak begitu penting, karena, untuk ditetapkan sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, harus melalui proses perizinan usaha berdasarkan risiko tingkat usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 37 sampai Pasal 42. Sementara, para pengemudi yang mendaftar sebagai “mitra” tidak diwajibkan memiliki perizinan ini. Oleh karena itu, aspek kriteria pihak juga tidak terpenuhi antara Aplikasi dengan pengemudi.

Terakhir, aspek pelaksanaan Kemitraan. Pasal 115 PP 7/2021 mengatur sebagai berikut:

(1)  Kemitraan mencakup proses alih keterampilan bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi sesuai dengan pola kemitraan.

(2) Alih keterampilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melaiui pelatihan, peningkatan kemampuan, pemagangan, dan pendampingan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil.

Tanpa perlu diurai mendalam, sudah tentu ketentuan ini tidak akan dapat dipenuhi oleh Aplikasi. Tentu saja keterampilan mengemudi, menerima orderan, menunggu penumpang bukanlah keterampilan yang perlu dilakukan oleh Aplikasi kepada pengemudi.

Selain itu, dalam pelaksanaan Kemitraan, juga terlihat bahwa tidak ada saling menguntungkan antara Aplikasi dengan pengemudi. Aplikasi, setidaknya Gojek dan Grab, telah berkali-kali diberitakan memiliki valuasi ekonomi yang tinggi. Namun, kesejahteraan pengemudi kerap berada dalam kondisi sebaliknya. Pendapatan yang rendah sehingga terpaksa memperpanjang jam kerja, bekerja dalam ancaman putus mitra, tidak adanya jaminan sosial, adalah kondisi yang sering dihadapi para pengemudi. Gambaran mengenai dinamika harian yang dialami pengemudi, salah satunya, dapat disaksikan melalui video pada tautan https://www.youtube.com/watch?v=wQPgLZrbwc0 . Karena itu, telah terlihat bahwa pada aspek pelaksanaan Kemitraan antara Aplikasi dengan pengemudi juga tidak terpenuhi.

Dengan demikian, Perjanjian Kemitraan antara Aplikasi dan pengemudi tidak memenuhi satupun kriteria Kemitraan, baik dalam aspek substansi perjanjian Kemitraan, aspek kriteria para pihak dalam Kemitraan, maupun aspek pelaksanaan Kemitraan.

Karena tidak terpenuhinya kriteria mengenai Kemitraan, baik berdasarkan tinjauhan KUHpdt maupun UU UMKM, Kemitraan yang diterapkan oleh Aplikasi tidak lain hanya merupakan pengaburan hukum. Alih-alih saling menguntungkan, Kemitraan tersebut telah menciptakan relasi yang subordinatif serta eksploitatif.

[1] https://ekonomi.bisnis.com/read/20190829/98/1142283/hina-indonesia-miskin-dan-gojek-bos-big-blue-taxi-malaysia-minta-maaf

[2] https://www.youtube.com/watch?v=hTK0Gq6UocM

Lanjut ke bagian 2 …


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *