Mempertegas Hubungan Kerja antara Pengemudi dan Aplikasi Ojek Online (Bagian 2)

Penulis: Rizky Putra Edry

Setelah melihat konsepsi Kemitraan “ilegal” yang diterapkan Aplikasi pada bagian sebelumnya, penting untuk menelaah relasi antara Aplikasi dengan pengemudi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) –yang sebagian ketentuannya telah diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja. UU Ketenagakerjaan tentu bukan merupakan produk hukum yang ideal untuk melindungi buruh. Fleksibilitas pasar kerja, sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, masih cukup dominan dilegitimasi oleh undang-undang ini. Namun, demi melindungi buruh (dalam hal ini pengemudi) undang-undang ini dapat digunakan sebagai dasar hukum yang lebih baik untuk semakin memperkuat jaminan hak.

Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa, “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Unsur pekerjaan, upah, dan perintah, akan menjadi kunci dalam hal ini.

Pertama, unsur pekerjaan. Unsur ini tentu saja tidak susah untuk dibuktikan. Pengemudi yang mondar mandir setiap hari untuk mencari, mengantar, dan menurunkan customer, mengantar makanan, atau mengantar barang, adalah bentuk dari pekerjaan.

Kedua, unsur upah. Skema yang ditawarkan Aplikasi terhadap pengemudi adalah pembagian tarif layanan yang dibayarkan pengemudi dengan persentase tertentu antara pengemudi dan Aplikasi. misalnya 80% dan 20% atau 85% dan 15%. Alih-alih setoran pengemudi kepada Aplikasi sebanyak 20% atau 15%, hal ini sebenarnya adalah upah sebanyak 80% atau 85% dari tarif yang diberikan oleh Aplikasi kepada pengemudi.

Sistem pembayaran upah yang demikian dikenal sebagai upah berdasarkan satuan hasil. Skema pengupahan ini telah diakui, baik Undang-Undang Ketenagakerjaan sebelum Undang-Undang Cipta Kerja (Pasal 157), hingga Pasal 14 PP 36/201 tentang Pengupahan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Artinya, nominal yang selama ini diterima pengemudi adalah upah.

Ketiga, unsur perintah. Meskipun seolah-olah perintah untuk antar-jemput berasal dari customer, namun pada kenyataannya tidak demikian. Perintah antar-jemput yang diterima pengemudian sedianya berasal dari Aplikasi atau perusahaan. Alogritma Aplikasi yang dikendalikan perusahaanlah yang akan memberikan perintah kepada pengemudi. Customer hanya melakukan request kepada Aplikasi. Customer tidak memiliki kendali sama sekali untuk menentukan siapa pengemudi yang akan mengantarkannya. Saat request disampaikan oleh customer kepada Aplikasi, Aplikasilah yang memerintahkan pengemudi mana yang bertugas untuk memenuhi permintaan customer. Bahkan, saat pengemudi menolak untuk memenuhi perintah dari Aplikasi, akan ada sanksi dari Aplikasi berupa pengurangan kesempatan untuk kembali mendapatkan customer. Saat terlalu sering menolak customer, akun menjadi tidak gacor. Begitu istilah yang kerap digunakan pengemudi.

Dengan terpenuhinya kriteria hubungan kerja antara pengemudi dan Aplikasi, dan di sisi lain tidak terpenuhinya syarat-syarat Kemitraan antara pengemudi dan Aplikasi, maka sudah seharusnya relasi antara pengemudi dan Aplikasi dinyatakan sebagai hubungan kerja, bukan Kemitraan.

Menakar Untung-Rugi bagi Pengemudi

Apa yang akan hilang dari pengemudi saat relasi antara pengemudi dan Aplikasi dinyatakan sebagai hubungan kerja? Tak ada yang hilang dari pengemudi selain mengurangi nasib tak mujur.

Jika yang menjadi kekhawatiran utama pengemudi adalah perihal jam kerja yang menjadi kaku, maka hal tersebut telah cukup terjawab dengan konsepsi upah berdasarkan satuan hasil. Upah berdasarkan satuan hasil memang didesain untuk waktu kerja yang sesempatnya. Artinya, jika memang pengemudi tidak berkesempatan onbid, konsekuensinya hanyalah tidak mendapatkan upah.

Di sisi lain, terdapat peluang yang menguntungkan bagi jaminan hak-hak pengemudi. Dengan adanya penegasan bahwa relasi antara pengemudi dan Aplikasi adalah hubungan kerja, maka pengemudi dianggap sebagai pekerja Aplikasi. Status sebagai pekerja akan membuka peluang secara hukum bagi pengemudi untuk mengajukan tuntutan kepada Aplikasi, baik mengenai jaminan sosial, biaya perawatan kendaraan, penghapusan biaya pembelian jaket serta helm, dan sebagainya. Terlebih, sejak beberapa waktu belakangan, aplikasi telah menambah platform fee yang dibebankan kepada customer. Sehingga keuntungan Aplikasi menjadi semakin bertambah dan oleh karenanya, cukup beralasan bagi pengemudi untuk mengajukan tuntutan.

Membangun Imajinasi

Upaya untuk tuntutan yang lebih besar tentunya patut untuk dipikirkan. Aturan-aturan hukum yang ada saat ini, meskipun memberi peluang, namun harus disadari tidak cukup. Pengakuan sebagai pekerja dan upah berdasarkan satuan hasil, semestinya harus diposisikan hanya sebagai tujuan awal.

Jika melihat ke belahan dunia lain, terlihat bahwa telah ada angin segar bagi jaminan hak pengemudi ojek online sebagai pekerja. Di Spanyol, pada Maret 2021, telah disahkan Undang-Undang yang mengakui bahwa pengemudi ojek online merupakan pekerja dan diberikan hak berupa upah tetap serta fasilitas jaminan lain yang relevan. Undang-Undang ini merupakan hasil dari tuntutan yang dilakukan pengemudi ojek online. Di tahun yang sama, pengadilan Inggris dan Itali memberikan putusan bahwa pengemudi ojek online merupakan pekerja dan berhak atas upah yang tetap.

Hal serupa tentu bukan mustahil dilakukan di Indonesia. Kesadaran bersama diantara pengemudi mengenai betapa tidak adilnya model bisnis yang dijalankan oleh Aplikasi adalah kondisi yang dibutuhkan untuk melakukannya.

Namun, mekanisme hukum yang serba formal hanyalah salah satu cara, bukan satu-satunya. Seberapapun para ahli hukum menyatakan bahwa mekanisme hukum akan menghadirkan kepastian dan keadilan, kenyataannya kerap berbeda. Satu-satunya kepastian ditentukan oleh kekuatan para pekerja, para pengemudi. Kesadaran bersama para pengemudi adalah hal utama yang dibutuhkan untuk keberhasilan mencapai tujuan. Entah melalui mekanisme hukum atau melalui perjuangan dalam bentuk lain yang dapat membuat penguasa modal dan penguasa politik menjadi pucat pasi karena telah berlaku tak adil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *