Jum’at, 31 Mei 2024 – Delapan Puluh-an petani Pundenrejo melakukan aksi “Laku Melaku”, dari Pundenrejo sampai ke Kantor Pertanahan Kab. Pati. Aksi Laku Melaku diawali dengan Ziarah kepada Ki Ageng Pekiringan, Mbah Mutamakin, Kajen, Pati. Dalam aksi tersebut, sepanjang jalan, dengan membawa obor sebagai simbol perjuangan yang terus menyala, petani Pundenrejo terus menerus melantunkan sholawat dan tembang-tembang perjuangan.
Aksi Laku Melaku mempunyai makna bahwa keadilan agraria masih jauh dari petani Pundenrejo. Pasalnya selama 24 tahun konflik agraria antara petani Pundenrejo melawan PT Laju Perdana Indah/PG Pakis tidak kunjung terselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip kerakyatan. Sehingga petani lah yang sampai dengan saat ini tidak dapat kembali menggarap lahan garapannya. Ini adalah bentuk kritik warga kepada penguasa yang seharusnya berpihak kepada petani bukan kepada korporasi.
Konflik Agraria di Pundenrejo bermula ketika peristiwa perampasan lahan pada tahun 1965 oleh sekelompok perintis dari Rumpun Sari Diponogoro melakukan pengusiran terhadap petani yang sedang melakukan aktivitas penggarapan di lahan nenek moyangnya yang terletak di Desa Pundenrejo. Pada saat itu petani diancam akan dicap sebagai anggota salah satu partai politik, hal tersebut membuat petani takut dan tidak berani menggarap lahan.
Pada tahun 1973 sampai dengan 1994 tiba-tiba lahan nenek moyang petani Pundenrejo berubah status menjadi Hak Guna Bangunan PT BAPPIPUNDIP dan diperpanjang oleh negara dari tahun 1994 sampai dengan 2024. Pada tahun 1999, PT BAPPIPUNDIP bangkrut dan menjual tanah HGB kepada PT Pabrik Pakis. sejak tahun 1973 sampai tahun 1999 tanah nenek moyang petani Pundenrejo yang diklaim HGB oleh Perusahaan tidak pernah digunakan sebagaimana mestinya yang tertera di dalam izin peruntukan laha tersebut.
Pada Tahun 1999 karena petani Pundenrejo mempunyai latar belakang sejarah di lahan nenek moyang dan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, petani Pundenrejo kembali tersebut. Petani sudah menggarap lebih dari 20 Tahun, namun di Tahun 2020 pada saat Covid-19, PT. LPI/ PG Pakis didampingi Aparat Kepolisian, TNI dan sekelompok orang tidak dikenal merusak tanaman da mengusir petani Pundenrejo. Pengusiran tersebut membuat petani sampai tahun 2024 tidak lagi dapat menggarap lahan karena di atas lahan ditanami tebu oleh PT Pabrik Gula Pakis/PT LPI.
Sesampainya di Kantor pertanahan pada pagi hari setelah menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki, dari hari kamis malam, sampai Jum’at Pagi, petani Pundenrejo menuntut kepada Kepala Kantor Pertanahan Kab. Pati antara lain:
- Cabut HGB PT Pabrik Pakis di lahan nenek moyang Petani Pundenrejo yang disalahgunakan;
- Tolak Segala bentuk izin baru PG Pakis/PT LPI di atas Lahan nenek moyang kami:
- Stop segala bentuk aktivitas oleh PG Pakis di atas lahan Nenek Moyang:
- Mendorong Kementerian ATR/BPN RI untuk segera mengembalikan tanah nenek moyang petani Pundenrejo yang dirampas PG Pakis/PT LPI.
Dalam aksi tersebut, petani ditemui langsung oleh Kepala Kantah Kab. Pati, dengan adanya desakan dari petani, Kepala Kantah berjanji akan mengirimkan surat kepada Kementerian ATR/BPN RI yang isinya mnggambarkan lahan tersebut masih dalam kondisi konflik. Apa yang disampaikan oleh Kepala Kantah tidak lantas membuat petani Pundenrejo merasa puas, pasalnya perjuangan harus tetap berlanjut dan tidak akan berhenti sampai tanah nenek moyang kembali dapat digarap warga.
Narahubung
085200116027 (DIN/GERMAPUN)
089653054626 (Dhika/LBH Semarang)