Relokasi Industri “Menyoal Relokasi Industri Hingga Polemik UU Cipta Kerja”

Penulis : Yayuk Sri Rahayu

Untuk apa dan siapa, Relokasi industri dilakukan?

Keputusan tentang relokasi industri merupakan keputusan strategis yang berdampak jangka Panjang, dengan motivasi; meminimalisir biaya untuk memaksimalkan keuntungan. Dua faktor utama dalam relokasi yaitu rendahnya biaya produksi yang dapat dikontrol industry dan kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan pasar. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut setidaknya terdapat 90 pabrik dari Kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) memutuskan melakukan relokasi ke Jawa Tengah sejak 2013. Sementara Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) pada 2015 menyebutkan 47 pabrik dari Jawa Barat dan Banten melakukan relokasi ke daerah Jawa Tengah. Pada tahun 2019, Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) menyampaikan; setidaknya ada 140 pabrik yang direlokasi ke Jawa Tengah, dari Jabodetabek dan Jawa Barat. Adapun daerah tujuan di Jawa Tengah diantaranya; Tegal, Pekalongan, Sragen, Boyolali (termasuk Tekstil dan Produk Tekstil). Menurut Ganjar, relokasi akan menjadi tren yang berkelanjutan, berpeluang bisnis dan banyak dilirik oleh para investor.[1]

Daerah yang menjadi tujuan relokasi memiliki dua ciri utama, yaitu upah minimum yang lebih rendah dan dinamika serikat buruh yang lemah. Hal ini bisa terlihat dari data yang dihimpun oleh tempo bisnis sejak November 2022 hingga awal 2023. Jawa Tengah menduduki peringkat pertama sebagai provinsi dengan besaran UMP terendah di Indonesia, dengan nominal hanya sebesar Rp1.958.169 atau naik sebesar 8,01 persen dari 2022, yaitu sebesar Rp1.812.935. Disusul Yogyakarta di peringkat kedua, dan Jawa Barat pada peringkat ketiga.[2] Hal ini yang kemudian menjadi alasan utama mengapa relokasi industri datang secara masif ke Jawa Tengah. meskipun jika melihat beberapa tahun terakhir dinamika perburuhannya juga tidak menunjukkan data yang begitu rendah.

Relokasi sendiri merupakan pemindahan lokasi industri atau tempat rencana industri pada suatu daerah ke daerah lain. Biasanya industri dari negara maju di relokasi ke negara berkembang. Relokasi Industri ini disambut baik oleh Gubernur Jawa Tengah, dengan menyatakan bahwa Jawa Tengah dianggap menjadi salah satu primadona investor untuk berinvestasi. sehingga akan berdampak baik bagi perekonomian masyarakat karena terbukanya lapangan kerja lebih banyak.[3] Alih-alih membuka lapangan kerja adalah sebuah dampak baik dari relokasi industri, yang ada justru berdampak sangat buruk bagi kesejahteraan pekerja dan lingkungan. Potret pemberian upah yang tidak layak, jam kerja yang sering molor, terjadinya kekerasan, hingga tidak terpenuhinya hak cuti haid, hamil dan melahirkan bagi buruh perempuan menjadi alasan yang dominan di Jawa Tengah.

Para pemilik brand dapat memindahkan pesanan produksinya dari satu pemasok ke pemasok lain sesuai dengan kebutuhan. Begitu juga untuk perusahaan pemasok, mereka dapat melakukan relokasi pabrik ke wilayah-wilayah industri didalam satu negara atau secara lintas negara. Meski variasi jenis atau model yang dipesan oleh pemilik brand semakin banyak dan jumlah barang yang diproduksi juga meningkat, biaya produksi yang ditawarkan oleh pemilik brand kepada perusahaan pemasok seringkali tidak berubah. Pilihan relokasi cenderung menyasar ke wilayah kabupaten/kota yang upah minimumnya lebih rendah, dibandingkan kedudukan atau lokasi perusahaan sebelumnya. Rata-rata pabrik yang melakukan relokasi adalah pemasok brand terkenal, seperti Adidas, Nike, Asics, Mizuno, JC Penney, Zara, GAP, H&M, DKNY dan lain-lain.

Kebijakan Celaka dan Respon Masyarakat

Indonesia merupakan ladang para pelaku industri luar negeri, yang ingin menanamkan modalnya untuk perluasan usaha, tentunya juga mendapat dukungan dari pemerintah. Setelah dilantik menjadi Presiden RI, dalam pidatonya Jokowi menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut omnibus law. Saat itu, Jokowi telah berencana mengajak DPR untuk membahas dua undang-undang yang akan menjadi omnibus law, yaitu Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Jokowi menyebutkan, masing-masing Undang-Undang tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu Undang-Undang yang sekaligus merevisi beberapa, atau bahkan puluhan undang-undang. Dikebutnya pembahasan RUU Omnibuslaw ini diklaim demi mempermudah investasi di Indonesia. Sidang-sidang pembahasannya RUU omnibus law Cipta Kerja dilakukan siang-malam bahkan hingga larut malam, dan parahnya dilakukan di tengah masa pandemi COVID-19 sedang naik-naiknya. Proses yang dilakukan secara instan dan substansi yang “ngawur” tentu mendapatkan banyak respon dari masyarakat sipil.

Sejak awal 2020, masyarakat merespon omnibus dengan demo besar-besaran, terus terjadi dan puncaknya pada Oktober 2020. Berbagai kalangan seperti buruh, petani, mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya, berbondong-bondong untuk menolak dan meminta mencabut RUU Cipta Kerja yang cilaka ini. Bukannya merespon atau mendengarkan aksi ini, secara tiba-tiba produk gagal tersebut justru disahkan oleh DPR, tanpa menimbang aspirasi dan melibatkan masyarakat secara penuh. Selain itu, respon dilakukan oleh masyarakat itu justru ditanggapi dengan represifitas aparat kepolisian, dengan kekerasan dan kriminalisasi. Tidak sedikit massa aksi yang kemudian dikenakan pidana ngawur, akibat menolak UU ini.

Peraturan yang seharusnya dibuat untuk kepentingan masyarakat, UU Cipta Kerja ini, justru dibuat untuk memperkaya oligarki dan terkesan buru-buru. Selain mengagetkan, proses singkat tentu menuai kontra dari Masyarakat, yang selama ini mengkritik dan tidak setuju apabila RUU ini disahkan. Bagaimana tidak? Undang-Undang ini sangat merugikan buruh dan berpotensi besar merusak lingkunga. karena minimnya partisipasi dan monitoring pengawasan oleh masyarakat.

Sampailah akhirnya, masyarakat bersama perwakilan beberapa lembaga masyarakat menggugat UU ngawur ini. Pada 25 November 2021, lewat Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan Judicial Review dengan amar putusan yang menyatakan, bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum atau inkonstitusional bersyarat. Mahkamah Konstitusi memberikan tenggat waktu dua tahun, untuk dilakukan perbaikan sejak putusan tersebut dikeluarkan. Alih-alih menjadi penyambung perjuangan rakyat, MK justru sama sekali tidak menyentuh substansi dari kebijakan cilaka ini. Selain itu, dengan putusan yang dirasa tidak tajam ini justru semakin memperlihatkan bagaimana oligarki juga sudah masuk kepada lembaga yudikatif yang selama ini dianggap sebagai tameng terakhir negara demokrasi.

Dari gambaran proses penolakan masyarakat dan upaya hukum yang telah ditempuh, alih-alih memenuhi apa yang menjadi putusan MK, pemerintah justru semakin memperlihatkan congkak keburukannya, dengan menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang  (Perppu) Cipta Kerja dan disahkan pada 21 Maret 2023. Hal ini tentu sangat mencederai hati masyarakat Indonesia, yang selama ini berjuang menolak Omnibuslaw UU Cipta Kerja. Jika melihat secara substansi dari UU ini, pembatasan ruang gerak masyarakat semakin dilanggengkan oleh pemerintah, belum lagi perampasan hak juga dilakukan, padahal merupakan hak dasar yang melekat dalam diri setiap manusia.

Dilihat secara hukum, perppu tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana seharusnya Perppu itu dibuat. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dijelaskan mengenai kewenangan subjektif dan prerogatif bagi Presiden dalam menetapkan Perppu dengan adanya “ikhwal kegentingan yang memaksa(emergency regulation). Masyarakat jadi bertanya-tanya; ada kegentingan apa yang akan atau sedang dihadapi Indonesia dalam menjalani kehidupan dari aspek sosial, ekonomi, dan politik.[4]

Buruh dipermainkan, dieksploitasi dengan status kerja yang tidak pasti. pemberian upah tidak sesuai, jam kerja yang lebih panjang, dan banyak hak-hak yang dihilangkan demi keuntungan perusahaan. Obral izin, penyederhanaan pengawasan AMDAL juga dipermudah melalui UU Cipta Kerja ini, sehingga banyak pemodal yang mendirikan perusahaan di atas tanah, yang sebenarnya tidak layak untuk didirikan pabrik. Bahkan, banyak terjadi penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemerintah demi investasi, padahal masyarakat sepenuhnya menggantungkan hidupnya dengan lahan yang dimiliki seperti bertani atau berkebun. Mereka lebih sejahtera menjadi petani ketimbang tanahnya dibeli, dijadikan pabrik, dan atau menjadi buruh pabrik itu sendiri. Pabrik yang didirikan di wilayah pertanian atau perkebunan tentunya sangat berdampak pada kesuburan tanaman. serta berpengaruh terhadap kualitas hasil panen. Lagi-lagi, masyarakat menjadi korban atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Kekerasan terhadap Pekerja Perempuan

Penindasan terhadap Perempuan sering terjadi di tempat kerja, akibat dari ketimpangan laki-laki dan Perempuan karena sistem kapitalisme. Penindasan terhadap perempuan menyebabkan berbagai variasi, dari fenomena psikologi, ekonomi, sosial, dan 

politik yang memengaruhi kehidupan perempuan. Mulai dari perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, stereotip sosial, upah yang rendah, diskriminasi dalam institusi pekerjaan, pembagian kerja secara seksual, kontradiksi antara tuntutan domestik dan tuntutan di tempat kerja. kurang terwakilinya perempuan dalam politik formal dan peran kepemimpinan publik. Variasi fenomena ini yang melahirkan banyak kondisi buruk terhadap perempuan tersebut, dilanggengkan oleh sistem patriarki, yang menganggapnya sebagai makhluk inferior dan kelas kedua. Selain itu, sistem kapitalisme juga melahirkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja.

Kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja juga tidak sedikit dialami oleh pekerja Perempuan di pabrik. pada sektor germen misalnya, yang menjadi pekerja paling banyak adalah perempuan. Ketika dirinya mendapati atau mengalami perlakuan tersebut, kemudian hendak bersuara dan mengadukan kasusnya dengan maksud meminta keadilan, perusahaan cenderung diam dan tidak responsive dalam melakukan penanganan dan pencegahan. Hal tersebut memimbulkan budaya mewajarkan kejahatan secara seksual di tempat kerja, sehingga para perempuan pekerja yang mendapati atau mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual akan bersikap diam dan mengabaikannya.

Penyediaan ruang aman di tempat kerja, terutama bagi buruh Perempuan selalu diabaikan oleh perusahaan. Hal ini terlihat dari belum terpenuhinya Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3), sebagaimana amanat dari Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2023 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan di Tempat Kerja. Banyak buruh yang kehilangan ruang aman dengan maraknya kasus kekerasan verbal dan non-verbal, kekerasan seksual dan pelecehan seksual, dilarang untuk berserikat, hingga kekerasan ekonomi yang berujung pada kemiskinan struktural. sampai dengan saat ini Jawa Tengah sendiri belum menindaklanjuti peraturan tersebut. Padahal, seharusnya Permen tersebut menjadi terobosan serta perlindungan bagi para pekerja untuk tetap merasa aman ketika sedang bekerja.

Permasalahan ini semakin diperburuk oleh UU Cipta Kerja yang tidak memiliki keberpihakan secara penuh terhadap kesejahteraan buruh, penjaminan keselamatan serta ruang aman dan nyaman di tempat kerja yang sampai saat ini masih menjadi problem yang tidak kunjung terselesaikan. Contoh-contoh ini merupakan potret bagaimana perusahaan menjadikan buruhnya sebagai alat produksi bergerak, bukan sebagai manusia pekerja. Naas’nya, permasalahan ini mendapat dukungan dari pemerintah, lewat kebijakan yang pro dengan para investor.


[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20201025141210-4-196953/banyak-pabrik-hengkang-dari-jabar-lalu-akhirnya-menyesal

[2] https://bisnis.tempo.co/read/1662667/daftar-10-provinsi-dengan-ump-terendah-yogyakarta-tidak-lagi-di-peringkat-1#google_vignette

[3] https://mediaindonesia.com/nusantara/543052/jadi-primadona-investasi-ganjar-ungkap-97-pabrik-relokasi-ke-jateng

[4] Abdul Malik Akdom et al., Audit Perpu Cipta Kerja; Kudeta Terhadap Konstitusi, Membahayakan Kehidupan Demokrasi, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), 2023). hal. 8

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *