Bulan Oktober lalu, keluar pernyataan mengejutkan dari ketua Apindo Jawa Tengah mengenai kondisi perusahaan-perusahaan di kota Semarang dan Kab. Demak yang sudah mulai ditinggalkan investor ke daerah lain. Kepindahan para investor ini disebabkan oleh beberapa alasan; mulai dari mahalnya harga tanah, seringnya terkena dampak banjir rob serta upah minimum Kab/kota (UMK) yang sudah dianggap terlalu tinggi. Atas kondisi tersebut, para investor kemudian lebih memilih relokasi ke Brebes, Tegal, Pati, Jepara hingga Grobogan yang dianggap ketersediaan lahannya luas dengan harga yang masih murah.
Relokasi tersebut meninggalkan jejak kerusakan lingkungan Pantai Utara (Pantura) yang dibiarkan begitu saja oleh perusahaan serta pemerintah yang hanya mengukur dari sisi pertumbuhan ekonomi, ketidakgunaan lahan pasca industri hingga kerusakan ekologisnya tidak menjadi perhatian yang serius. Masalah lain juga muncul dengan adanya temuan beberapa perusahaan yang kemudian meninggalkan kawasan industri Semarang dengan melakukan PHK buruh tanpa pesangon, pemaksaan penerimaan tali asih yang nominalnya sangat sedikit, termasuk langkah-langkah lain yang bertentangan dengan aturan hukum.
Melalui Pergub Jawa Tengah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Rencana Pembangunan Daerah Provinsi (RPDP) Jawa Tengah tahun 2024-2026 Pemerintah Jawa Tengah telah merealisasikan percepatan pembangunan kawasan-kawasan industri di beberapa daerah Jawa Tengah, dengan ditopang ketersediaan infrastruktur, ketersediaan buruh yang siap bekerja hingga sistem pemberian kemudahan insentif terhadap perusahaan-perusahaan yang masuk di kawasan industri yang telah siap operasi. Insentif atau suntikan dana dari negara, sebelumnya juga telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi di Daerah, yang kemudian didukung melalui Pergub Jawa Tengah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal.
Adapun gambaran pembangunan kawasan industri Jawa Tengah sebagaimana dalam peta dibawah ini;
Peta kawasan industri tersebut menunjukkan bagaimana kekuasaan negara membuka peluang investor masuk sebanyak-banyaknya ke Jawa Tengah melalui penyiapan kawasan-kawasan industri prioritas. Penyiapan lainnya, Pemprov bersama dengan DPRD Jawa Tengah saat ini sedang menggodok penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi 2023-2043 dengan integrasi tata ruang darat dan tata ruang laut (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3-K). Dengan nafsu peningkatan pembangunan ekonomi daerah, difasilitasi lah relokasi ini oleh Negara dengan wujud kawasan-kawasan industri prioritas hampir di seluruh pantura Jawa Tengah.
Setidaknya ada lima kawasan industri yang sudah beroperasi saat ini, meliputi; Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal, Kawasan Industri Wijayakusuma di Kota Semarang, Jatengland Industrial Park di Demak, dan Aviarna Industrial Park -kawasan industri baru di Kota Semarang-. Belum dengan rencana kawasan industri lainnya seperti di Brebes, Cilacap, Rembang dan wilayah lainnya yang telah direncanakan. Berikut ini merupakan tabel rincian perluasan lahan di setiap kawasan-kawasan industri yang telah disediakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah;
Aturan-aturan diatas telah terbukti memanjakan investor untuk tertarik menanamkan sahamnya di Jawa Tengah. Wujudnya dalam aturan tersebut telah menghilangkan tanggung jawab negara dan perusahaan-perusahaan dalam pemulihan kerusakan lingkungan pasca operasional. Pemerintah Jawa Tengah hanya ramah terhadap investor dan menunjukkan watak eksploitatif terhadap lingkungan dan buruh. Negara dan perusahaan-perusahaan mengabaikan kondisi buruh di bawah bayang-bayang upah murah serta kondisi kerja yang selalu berhadapan dengan banjir rob pantura.
Mengenai proses relokasi perusahaan ditempat baru, terdapat banyak perusahaan di Semarang yang tidak melakukan perundingan terlebih dahulu dengan perwakilan serikat buruh. Berdasarkan temuan LBH Semarang, cara yang dilakukan perusahaan adalah melakukan PHK buruh secara bertahap, perusahaan selalu berdalih kondisi sedang merugi (tidak ada order masuk), pemberian uang tali asih yang nominalnya semau perusahaan terhadap buruh, hingga PHK massal buruh tanpa pesangon. Meskipun serikat buruh sudah berupaya melaporkan pelanggaran tersebut ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah namun perusahaan selalu berdalih kondisi sedang merugi.
Mengandalkan Upah Murah (Buruh Diperas dan Dibuang)
Sejak UU Cipta Kerja dan PP turunannya berlaku, negara mulai memberlakukan banyak cara seperti penetapan upah secara sepihak dan hanya memberikan keuntungan terhadap perusahaan, memberikan kemudahan izin usaha, hingga mendapatkan keringanan berupa insentif modal usaha dan keringanan pajak. Alih-alih negara hadir di tengah situasi buruh yang sangat rentan, negara seakan menjadi corong kapital berburu keuntungan sebanyak-banyaknya dibalik kelimpahan sumber daya alam yang dimiliki Jawa Tengah dengan upah buruh tergolong murah.
Belum cukup penderitaan buruh Jawa Tengah dibawah tekanan upah murah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah pada 26 Februari 2024 lalu menolak penetapan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah Nomor 561/57 Tahun 2023 tentang Upah Minimum pada 35 (tiga puluh lima) Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2024, tertanggal 30 November 2023. Melalui register perkara Nomor: 10/G/2024/PTUN.SMG. Apindo menggugat SK Gubernur Jawa Tengah tersebut di Pengadilan PTUN Semarang. Apindo beralasan kenaikan UMK Kota Semarang 6% dan Kab. Jepara 7,8%, bertentangan/keluar dari PP No 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan -turunan UU Cipta Kerja-. Apindo berasumsi kenaikan upah minimum provinsi (UMP) terhadap dua Kota/Kab tersebut memberatkan pengusaha untuk membayar upah buruh. Padahal kenaikan upah tersebut hanya terjadi di dua Kota/Kab yang kenaikannya pun masih sangat minim. Jawa Tengah pun tergolong provinsi yang “pelit” untuk menaikkan UMP yang layak bagi kesejahteraan buruh.
Jika dilihat dari PP Nomor 51/2023 ini, kenaikan UMK sesungguhnya tidak boleh lebih dari 4%. Sementara Gubernur Jawa Tengah menetapkan khusus dua Kab/Kota UMK Kota Semarang dan Kab. Jepara keluar dari mekanisme perhitungan berdasarkan PP ini. Tahun 2024, UMK Kota Semarang naik 6% sementara Kab. Jepara naik 7,8%. Hal ini terjadi karena kuatnya tekanan gerakan Serikat Pekerja/Serikat Buruh untuk mendesak Gubernur Jawa Tengah tidak menggunakan regulasi pengupahan turunan UU Cipta Kerja.
SK Gubernur pun hanya menetapkan kenaikan upah yang keluar dari skema perhitungan penetapan UMP berdasarkan PP No 51 untuk Kota Semarang dan Kab. Jepara saja, sementara di 33 Kota/Kab lainnya tetap menggunakan skema perhitungan berdasarkan PP 51 yang hanya naik di angka 4%.
Menurut Apindo, kenaikan tersebut lebih besar dari yang seharusnya berdasarkan hitung-hitungan PP 51 yang melanggar ketentuan kenaikan UMP/UMK untuk tidak lebih dari 4,0%. Pada akhirnya Pengadilan PTUN Semarang tidak menerima gugatan dari Apindo ini, sehingga UMK Kota Semarang 6% dan Kab. Jepara 7,8% tetap dan berlaku.
Di tahun 2024 ini, upah Kota Semarang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa Tengah. Sehingga ada alasan yang kuat dari Apindo untuk melakukan ekspansi ke tempat baru untuk mencari keuntungan dibalik upah buruh yang masih rendah. Apalagi pemerintah telah menyediakan infrastruktur jalan tol yang sangat dekat aksesnya dengan kawasan-kawasan industri prioritas baru hampir di seluruh Jawa Tengah, sehingga mudah bagi Apindo dan perusahaan untuk merelokasi dengan jaminan daerah yang aman dari banjir dan upah buruh yang murah.
Apindo menciptakan narasi untuk melepas tanggung jawab terhadap dampak kerusakan lingkungan akibat operasionalisasi perusahaan-perusahaan di wilayah pesisir serta pembayaran upah buruh yang dianggap mahal. Relokasi ke tempat baru pun hanya akan menjajaki upah buruh yang tergolong murah (mencari upah buruh yang lebih rendah dari upah buruh Kota Semarang) dan menciptakan petaka baru yakni krisis sosial ekologi di daerah lain di Jawa Tengah.
LBH Semarang menilai bahwa;
Pertama, Dampak relokasi industri dari kota Semarang ke tempat lain yang sedang dirancang oleh Apindo dan didukung oleh negara melalui ketersediaan kawasaan industri yang masih luas. Hal ini menimbulkan krisis sosial ekologi di tempat baru dimana target pemodal hanyalah mencari lahan industri yang tidak tersentuh banjir rob serta mencari upah buruh yang lebih murah.
Kedua, Pemerintah Jawa Tengah tidak mampu mengatasi kerusakan lingkungan sepanjang Pantura akibat masifnya pembangunan yang menyebabkan bencana banjir rob dan penurunan muka tanah kian parah.
Ketiga, proses pembangunan dan tata kelola kawasan industri yang hanya mencari keuntungan dengan menjual narasi pertumbuhan ekonomi adalah omong kosong.
Keempat, Pemerintah Jawa Tengah melalui berbagai aturan memberikan ruang yang leluasa kepada pemodal untuk dapat berinvestasi di kawasan industri yang telah disediakan dengan harga murah dan mendapatkan insentif dll, namun nir empati terhadap kondisi upah murah yang memprihatinkan.
Kelima, sejak UU Cipta Kerja disahkan hingga saat ini, dampaknya sangat struktural dan menciptakan kemiskinan terhadap buruh Jawa Tengah, sementara perusahaan-perusahaan secara leluasa melakukan PHK terhadap buruh.
Keenam, Kebijakan negara terkait pembukaan lahan di kawasan industri baru telah menambah derita rakyat, memperluas konflik sosial dan hanya membuka kebobrokan sistem yang kapitalistik.
Narahubung: LBH Semarang, 081342137630
Sumber lain: