Penulis: Siti Zumrah Koly
Pemerintah Jawa Tengah mengumumkan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 sebesar Rp. 2.036.947 yang sebelumnya hanya Rp. 1.986.670, nilai tersebut mengalami kenaikan sekitar 4,02 persen yang ditetapkan melalui SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 561/54 Tahun 2023 tanggal 21 November 2023, serta berdasarkan Surat Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor B-M/243/HI.01.00/XI/2023 tentang Penyampaian Informasi Tata Cara Penetapan Upah Minimum Tahun 2024. Data Kondisi Ekonomi dan Ketenagakerjaan untuk Penetapan Upah Minimum Tahun 2024. Penetapan UMP dihitung menggunakan formula upah minimum tahun sebelumnya ditambah nilai penyesuaian dari unsur inflasi, pertumbuhan ekonomi dan nilai alfa. Nilai alfa ditentukan dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah dalam tiga periode terakhir waktu berjalan, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan.
Sebelum proses penetapan UMP 2024 dilakukan, para buruh sejak rencana Omnibus Law disampaikan oleh Presiden Joko Widodo sudah melakukan penolakan. Kekhawatiran mendasar dalam penolakan tersebut adalah akan dilangsungkannya praktik politik upah murah. Sayangnya hal tersebut menjadi kenyataan dengan disahkannya UU Ciptaker dengan salah satu aturan turunannya PP No 51 Tahun 2023 tentang pengupahan yang menurut para buruh hanya menguntungkan perusahaan.
Dalam formula penghitungan upah minimum yang diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2023 dihitung dengan rumus UM(t+1) = UM(t) + Nilai Penyesuaian UM(t+1) , dimana dalam menghitung nilai penyesuaian yang dicantumkan dalam formula penghitungan tadi menggunakan UM(t+1) = {inflasi + (PE x α)} x UM(t). Adanya batas atas dan batas bawah serta simbol alfa menjadi sorotan para buruh karena apabila upah minimum saat ini sudah di atas rata-rata konsumsi maka upah minimum tahun 2024 hanya dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi dikali alfa, simbol alfa menjadi faktor pengurang menurut para buruh. Sementara jika di bawah rata-rata konsumsi maka penghitungan upah ditambahkan faktor inflasi dan nilai pertumbuhan ekonomi dikali Alfa. kedua rumus formula yang tertuang dalam PP 51 tahun 2023 tersebut dinilai buruh menimbulkan diskriminasi kenaikan upah minimum.
Melihat hal tersebut beberapa lembaga perburuhan, Serikat Buruh, termasuk LBH Semarang berkolaborasi untuk melihat bagaimana realitas kebutuhan buruh. Hal ini dilakukan melalui survei kebutuhan pengeluaran hidup buruh di 4 provinsi dengan menyongsor 4 sektor industri yaitu manufaktur, pertambangan, perkebunan dan ojol. Di Jawa Tengah sendiri survei dilakukan pada beberapa wilayah diantaranya daerah Semarang, Demak, Grobogan dan Jepara, dengan mendatangi beberapa serikat buruh di perusahaan manufacturing dengan total responden sebesar 32 buruh yang terdiri dari buruh lajang dan sudah menikah dengan rentan pendapatan terbesar responden berada pada skala Rp.2.000.000 – Rp.3.000.000. Dari rentang pendapatan ini, jika dihitung pengeluaran buruh secara rata-rata, maka diperoleh rincian sebagai berikut:

Dari 32 responden rata-rata pengeluaran buruh dalam 1 bulan untuk jenis konsumsi makanan sebesar Rp. 1.996.921. perorang, dengan pengeluaran jenis makanan terbesar yaitu makanan jadi, hal ini tak terlepas dari ketergantungan akan industri layanan jasa siap saji yang masif berkembang dan juga fleksibelnya waktu untuk bekerja bagi buruh karena dituntut mencapai target tiap harinya. Sedangkan untuk pengeluaran jenis konsumsi non makanan dalam 1 bulan rata-rata pengeluaran buruh sebesar Rp. 6.935.109 per orangnya, dengan rincian 14% untuk pembayaran hutang bank yang menjadi pengeluaran terbesar rata-rata buruh sebab pendapatan yang di dapat dirasa tidak cukup walaupun sudah melakukan upaya menambahkan beban kerja dengan bekerja sampingan. pemeliharaan rumah dan perbaikan ringan juga menjadi pengeluaran kedua terbesar sebagian buruh sebanyak 10% yang juga didukung oleh keadaan Jawa Tengah yang sekarang ini wilayahnya mengalami dampak dari perubahan iklim maupun pembangunan yang tidak mempertimbangkan ekologis. sedangkan untuk menyisihkan tabungan atau arisan rata-rata buruh hanya mengeluarkan 8% dari upahnya bahkan ada beberapa buruh yang tidak mengeluarkan pengeluaran untuk tabungan atau arisan dan malah menyisihkan untuk pembayaran hutang koperasi 8% yang menjadi salah satu pilihan apabila mempunyai kebutuhan mendesak. pesta perkawinan pun menjadi salah satu pengeluaran yang cukup rutin dikeluarkan buruh sebanyak 13% untuk menjalin hubungan sosial antar masyarakat.
Menjamurnya industri dan Pembangunan, mempercepat perubahan iklim
Pada akhir 2022 mantan gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebutkan sebanyak 97 perusahaan baru yang melakukan relokasi ke Jawa tengah. fenomena relokasi dan ekspansi merupakan salah satu strategi memaksimalkan keuntungan dengan menekan biaya produksi, mulai dari menekankan pada biaya logistik dan transportasi, sehingga mengkonsentrasikan seluruh rantai pasokannya dalam satu zona industri. Proses akumulasi keuntungan ini juga dilakukan dengan menekan gaji buruhnya, karena tidak sanggup menekan biaya logistik dan transportasi. Alasan yang biasa dikemukakan oleh perusahaan yang melakukan relokasi yaitu sedang melakukan efisiensi di daerah asalnya.
Saat ini relokasi dan ekspansi merupakan tindakan yang didukung oleh pemerintah Jawa Tengah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bahkan pemerintah tidak mempertimbangkan lebih jauh terkait perusahaan yang merelokasi pabriknya ke Jawa Tengah telah melakukan pelanggaran-pelanggaran normatif di daerah sebelumnya. Dengan menjamurnya pabrik-pabrik dan kawasan industri serta pembangunan yang tidak mempertimbangkan keadaan ekologis Jawa Tengah mengakibatkan percepatan perubahan iklim karena menjadi penyumbang emisi karbon yang berlebihan melalui operasional industri yang didukung oleh pembangkit listrik. Dampaknya selain pencemaran akibat operasionalisasi industri, penurunan muka tanah pun terjadi sehingga mengakibatkan permukaan air laut lebih tinggi dari permukaan tanah dan memicu terjadinya rob yang sekarang ini dirasakan warga pesisir semarang, tenggelamnya pemukiman warga sampai saat ini telah merampas ruang hidup masyarakat sekitar yang berdampak pada aktivitas keseharian sehingga menimbulkan perubahan sosial dan cara mempertahankan hidup di tengah rob.
Bukan hanya relokasi dan ekspansi, seperti yang diketahui pemerintah akan merelokasi 46 hektar kawasan bakau atau mangrove yang terkena pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak, Jawa Tengah dan kawasan mangrove tersebut terbesar di tiga lokasi lahan yang akan dijadikan tol pada ruas Semarang hingga Sayung yang sekarang telah beroperasi. hal tersebut juga akan mempercepat perubahan iklim di Jawa Tengah, padahal lahan hutan mangrove merupakan benteng perlindungan kawasan pesisir dari abrasi dan ombak kencang, yang bisa menangkal laju tinggi ombak agar tidak masuk ke kawasan pesisir. Akhirnya banyak masyarakat yang terdampak rob yang juga sebagian bekerja sebagai buruh. Pembangunan yang katanya mengangkat aspek berkelanjutan dan memperhatikan lingkungan, justru malah menjatuhkan nilai keanekaragaman hayati dan merusak lingkungan itu sendiri. rata-rata tempat tinggal buruh berdekatan dengan proyek-proyek yang sedang dilakukan di Semarang dengan demikian buruh terdampak langsung sehingga memaksakan adanya upaya pertahanan yang harus dilakukan.
Semarang menjadi salah satu daerah yang terdampak oleh adanya perubahan iklim mulai dari peningkatan permukaan air laut (Sea Level Rise), Penurunan muka tanah (Land Subsidence), hingga masuknya air laut ke daratan (rob). menurut Sarbidi (2002) penurunan muka tanah yang terjadi di wilayah pantai Semarang mencapai 2-20 cm/tahun (Sarbidi dalam Wirasatya,2006). hal ini senada dengan data yang dikeluarkan saat panel antarpemerintah tentang perubahan iklim (IPCC), dimana permukaan laut bisa naik sekitar dua meter, di akhir abad ini dan peristiwa ekstrim permukaan laut yang dulu terjadi sekali dalam satu abad akan terjadi tiap tahun. selain itu, aktivitas pemompaan air tanah yang berlebihan, pengerukan alur pelayaran dan reklamasi pantai yang mengakibatkan abrasi dan intrusi air laut akan memicu terjadinya rob.
Banjir rob pengaruh biaya reproduksi sosial buruh meningkat
Fenomena banjir rob yang terjadi di beberapa daerah di utara Jawa Tengah menjadi penanda penurunan kualitas lingkungan di negara ini. Keberadaan industri yang menjamur banyak merampas ruang hidup masyarakat, hal tersebut tidak terlepas dari ketertarikan investor terhadap UMP Jawa Tengah yang rendah dan lahan yang masih banyak serta luas. Berbagai aspek kehidupan menjadi dampak dari terjadinya fenomena banjir rob diantaranya terganggunya aspek sosial masyarakat dalam melakukan aktivitas pendidikan, pekerjaan dan rentan akan terjangkitnya penyakit. Buruh dengan kondisi rumah berada di wilayah pesisir menjadi salah satu pekerja yang dirugikan dalam fenomena ini dimana pengeluaran kebutuhan per tahunnya menjadi bertambah dengan renovasi rumah yang harus dilakukan terus menerus manakala terjadinya banjir rob. Hal ini belum lagi ditambahkan dengan kerugian lainnya yang ditanggung baik secara finansial maupun fisik.
Dalam temuan survei yang dilakukan di salah satu Pabrik Garment yang berlokasi di Kecamatan Genuk, Kota Semarang dengan jumlah 12 responden buruh yang sebagian besar adalah perempuan yang sudah menikah dan rata-rata bertempat tinggal di daerah Sayung, Demak. Dengan rata-rata pengeluaran untuk kelompok makanan selama satu bulan sebesar Rp1.889.083,33 dan rata-rata pengeluaran kelompok non makanan sebesar Rp6.252.250,00 jika di jumlahkan setiap buruh yang bekerja di pabrik tersebut pengeluaran per bulannya sebesar Rp 8.141.333,33 dengan upah rata-rata yang di dapatkan hanya Rp. 3.060.000.
Pengeluaran jenis kelompok non makanan khusus untuk buruh yang bertempat tinggal di daerah Sayung, Demak atau daerah yang terkena dampak ekologis dari pembangunan pengeluarannya lebih besar dari buruh yang bertempat tinggal di daerah yang tidak terdampak. per setahun sekali buruh akan meninggikan rumahnya untuk menghindari rob, hal yang dianggap biasa bukan menjadi hal yang harus dituntut atas hak pemukiman yang layak ke pemerintah daerah dan hampir dimaklumi oleh para buruh sebab merasa itu merupakan konsekuensi dalam mempertahankan hidup. Dalam pemakluman akan perbaikan tersebut akhirnya menciptakan tuntutan baru untuk mendapatkan upah lebih yang dilakukan melalui kerja sampingan atau membuka usaha yang menciptakan beban kerja ganda, dampaknya pada gangguan kesehatan para buruh yang dapat menurunkan produktivitas dan daya fokus, bahkan kesehatan reproduksi buruh perempuan menjadi rentan.
Bukan hanya itu beberapa buruh juga harus memikirkan cara untuk menggantikan kendaraan mereka yang karatan akibat sering melewati air rob, atau tetap menggunakan kendaraan karatan dengan menanggung resiko-resiko keselamatan. pilihan yang seakan dituntut sebagai tanggung jawab buruh sehingga upaya berhutang di bank di pilih untuk kredit kendaraan dengan membayar per bulan dari gaji yang tidak seberapa sehingga pendapatan bersih yang diperoleh per bulannya hanya Rp.500.000 – Rp. 2.000.000 dengan demikian dalam memenuhi kebutuhan pokok harian akan menjadi sulit dan rentan terlilit hutang yang berlebih.
Pengeluaran kebutuhan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara dalam urusan publik pun dibebankan kepada buruh seperti pengeluaran kebutuhan membayar PAM/PDAM/jenis air prabayar atau pascabayar untuk biaya pengasuhan dalam 1 bulan Rp. 76.916,67., pengeluaran untuk membayar kebutuhan pendidikan setiap bulannya sebesar Rp.1.183.023,45., pengeluaran untuk kesehatan setiap bulannya sebesar Rp. 260.611,11 dan pengeluaran pemakaian listrik setiap bulan sebesar Rp. 105.833,33.
Desakan pengeluaran kebutuhan buruh ini tidak di sadari sebagai ketimpangan dari upah murah yang diberlakukan perusahaan maupun kewajiban biaya reproduksi yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan untuk menjamin setiap buruh yang bekerja di perusahaannya dapat memproduksi kembali produk yang ada di perusahan, sebab tanpa adanya jaminan tersebut para buruh tidak akan bisa bereproduksi. bahkan saat melakukan survei ada beberapa buruh yang tidak menyangka kalau pengeluarannya selama ini bisa mencapai angka puluhan juta. kenaikan upah dan kesadaran akan kewajiban biaya reproduksi buruh oleh perusahaan sangat perlu dilakukan mengingat fenomena dan fakta yang terjadi pada buruh agar mencapai kesetaraan dalam pengeluaran biaya reproduksi dan kesejahteraan buruh.